Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura

By Galih Pranata, Rabu, 19 Januari 2022 | 08:00 WIB
Warga di depan Keraton Solo/Surakarta. (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Masjid yang elok terlihat di pelataran desa Saripan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Setiap jengkal temboknya menghantarkan sejarah di balik memori kolektif masyarakat di sekitarnya.

"Masjid Jami' Surakarta merupakan masjid tertua di Kartasura (Sukoharjo, Jawa Tengah)," ungkap Anjar Miska Prayoga, salah satu pengurus masjid, menuturkan kepada National Geographic.

Masjid ini memang telah sangat lama berdiri, membawa ingatan kembali ke masa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berkuasa di Karesidenan Surakarta.

"Itu (masjid Jami' Syarif) masih ada kaitannya dengan Keraton Surakarta karena dibangun di atas tanah perdikan (tanah milik Keraton yang tak berpajak sebagai hadiah bagi ulama Jawa)," terusnya. 

Masjid Jami' Syarif yang dikenal masyarakat, begitu juga dengan nama desa Saripan, terinspirasi dari seorang ulama terkemuka, Kiai Syarif, mereka menjulukinya Eyang Syarif.

Ia merupakan penasihat penting dan guru spiritual bagi Paku Buwana V dan Paku Buwana VI yang bertahta sejak abad ke-19, sezaman dengan Pemerintah Hindia-Belanda tengah berkuasa.

"Eyang Syarif memiliki nama asli Muhammad Syarif Al Hadad," tulis Burhanuddin dalam skripsinya berjudul Peran Masjid dalam Pendidikan Islam Berbasis Masyarakat, yang dipublikasi oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada tahun 2015.

Menurut Burhanudin, belum jelas pada tahun berapa masjid Jami' Syarif mulai berdiri. Banyak yang berpendapat, masjid Jami' Syarif berdiri pada saat bersamaan, saat Kiai Syarif mulai berdomisili di Saripan dan menginisiasi pendirian masjid.

Potret Masjid Jami' Syarif di tahun 2020. (Ubaidi/Google Maps)

Jika menyandarkan pada faktualitas periode kekuasaan Paku Buwana V, kekuasaannya berkisar pada tahun 1820 hingga tahun 1823. Waktu yang singkat itu, diteruskan oleh Paku Buwana VI yang berkuasa sejak 1823 sampai 1830.

"Boleh jadi, masjid Syarif (nama lawasnya sebelum berganti menjadi Jami' Syarif) dibangun pada masa Paku Buwana V atau VI, yang berarti sekitar tahun 1820 sampai 1830 M, atau abad ke-19," lanjutnya.

Masjid Syarif mengingatkan masyarakat yang hidup di zaman kegemilangannya, saat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang mengembangkan pusat studi Islam di wilayah Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Penurunan Makhuto (mahkota) dari kubah Masjid Jami' Syarif pada renovasi tahun 2009. (Cah Saripan Makamhaji/Facebook)

Berstatus sebagai tanah perdikan, Masjid Syarif merupakan hadiah dari keraton kepada ulama Jawa kala itu, Kiai Syarif, sebagai perluasan perkembangan pendidikan Islam yang tak hanya berpusat pada Masjid Agung Keraton, tetapi juga hingga Kartasura.

Bersama dengan bimbingan dan dakwah Kiai Syarif, pendidikan Islam tersampaikan dibawah teduhnya atap masjid Syarif bergaya Jawa-klasik. Meskipun saat ini, semuanya telah berubah karena adanya perombakan total pada interior dan eksterior masjid.

"Di bangunan utama, meskipun sudah berbeda (bentuk) bangunan dengan yang asli dulu karena di rehab total, tapi untuk kayu masih menggunakan kayu-kayu yang lama, orisinil sejak dibangun pada abad ke-19," sambung Anjar kepada National Geographic.

Masjid Syarif mendukung pendidikan non formal Islami yang unggul dalam melahirkan generasi berilmu dan berakhlak mulia dalam amalan akidah, ibadah, dan muamalah pada masyarakat.

Nahas, nasibnya tak segemilang yang dibayangkan saat Paku Buwana VI yang perhatian dengan masjid Syarif, harus turun tahta dan pergi dari Kota Surakarta.

Setelah Belanda menangkap dan membuang pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830 karena pemberontakannya dan penyebab Perang Jawa, Paku Buwana VI turut ditangkap di Mancingan, Yogyakarta pada 8 Juni 1830.

Baca Juga: Selisik Makam Kapten Tack, Perwira VOC Abad Ke-17

Paku Buwana VI dianggap membangkang, seiring dengan penolakannya untuk bekerjasama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Paku Buwana VI pada akhirnya ditangkap oleh pemerintah, membuatnya diasingkan ke Ambon.

Setelah pengasingan ke Ambon, turbulensi politik di dalam istana berdampak pada terbengkalainya masjid Syarif. "Beruntung, adanya pembinaan masyarakat dan penduduk lokal, membuat gairah Islam masjid ini terus bertahan sampai hari ini," pungkas Anjar.

Sampai hari ini, aktivitas kebudayaan dan pengajaran Islam masih terus ada, ditambah dengan adanya bangunan pendidikan formal Keislaman yang berdiri di sekitar masjid, mempertahankan semangat Islam di Kartasura.

Baca Juga: Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19