Ida Pfeiffer (14 Oktober 1779—27 Oktober 1858) merupakan seorang pelancong perempuan tomboi asal Wina, Austria. Dia mulai melancong pada 1836. Dan, Ida mengawali rute melancong keliling dunianya yang kedua pada awal 1851. Akhir tahun itu dia sudah menjejakkan kakinya di Sarawak, Borneo. Pada Februari 1852, dialah perempuan Eropa pertama yang melancongi pedalaman Hindia Belanda.
Pada akhir November 1852, Ida berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Istana itu dikelilingi tembok tinggi, ungkapnya, dan di dalamnya terdapat taman, permandian, dan semacam perkantoran. “Salah satu bangunan dinamakan Tamansari atau Istana Air,” catatnya, “karena berlokasi di bawah air, begitulah sepanjang cerita pada awalnya.”
“Bangunan itu dirancang oleh para arsitek Portugis pada 1754.”
Baca Juga : Dipanagara, Lelaki Ningrat yang Gemar Blusukan
Lokasi tepatnya di sisi barat laut Keraton. “Tamansari” bisa juga diartikan sebagai “Taman Mewangi”. Sementara, para pencatat asal Belanda menyebutnya “Waterkasteel”—puri di tengah kolam. Sebuah bangunan bernama Pulo Kenanga, menyeruak di tengah kolam Segaran. Bangunan ini dan sebuah masjid dihubungkan dengan jalan bawah air menuju ke sebuah kawasan di kolam pemandian para putri bangsawan.
“Bangunan itu dirancang oleh para arsitek Portugis pada 1754.” Tamansari dibangun pada masa Sultan Pertama bertakhta. Menurutnya, Tamansari memiliki banyak ruangan berukuran luas, deretan lengkungan pintu dan berbagai lorong.
“Namun demikian, banyak tempat menunjukkan tanda-tanda yang kian memburuk, tampaknya sudah lama tak dihuni,” ungkapnya. “Dan, orang Melayu, seperti orang timur lainnya, tidak pernah memperbaiki rumah-rumah yang tak lagi dihuni.”
Di puri yang meredup pamornya itu Ida hanya menyaksikan mebel kuno berupa tempat tidur kayu. Dia diperingatkan tidak boleh menyentuh apa pun, bagi siapa yang menyentuhnya akan menemui ajal lebih cepat. Tampaknya, larangan leluhur seperti ini masih diyakini orang Jawa khususnya untuk peranti keramat.
Sebagai seorang pelancong yang menghormati nilai-nilai setempat, Ida mematuhi perintah itu. Kendatipun demikian, sebagai seorang yang terlahir dalam budaya rasional, dia punya makna lain soal larangan itu. “Barangkali itu semacam cara sopan untuk melindungi tinggalan sakral milik mereka dari rasa ingin tahu orang Eropa.” Ida melanjutkan, “Lantaran Sultan Pertama yang membangun kerajaan ini pernah tidur di atasnya.”
Ida juga mencatat Sultan kerap mengadakan pertemuan tak resmi bersama orang-orang Eropa di wisma residen, rumah orang Eropa lainnya, atau di klub sosialita. Di tempat terakhir itu “Dia [Sultan] kerap bermain kartu atau biliar, juga hiburan ala Eropa yang kerap digelar di situ,” ungkapnya.
Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road: Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. “Seorang wanita mengitari dunia telah memberikan para pembaca muda sebuah kajian atau pemikiran, sementara perempuan lain di Hindia masih sangat terbatas dalam gerakan mereka,” tulisnya dalam jurnal tersebut. “Barangkali catatan perjalanannya kelak membangkitkan sebuah ‘imajinasi’ tentang Hindia, yang kemudian menjadi Indonesia.”
Baca Juga : Erupsi Tambora Memerahkan Mentari, Pelukis Eropa Menjadi Saksinya
Kisah tentang Ida Pfeiffer ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida yang terbit di London pada 1855.
Tahun ini, tepat 164 tahun silam, catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfieffer pertama kali diterbitkan di Wina, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR