Riwayat Fungsi Bangunan Istana Djoen Eng di Salatiga 1921-1968

By Ratu Haiu Dianee, Senin, 24 Januari 2022 | 16:00 WIB
Bangunan gagah milik Kwik Djoen Eng sebelum direnovasi. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sebelum orang-orang Eropa tiba di Salatiga, sejatinya orang-orang Cina sudah masuk ke kota Salatiga sekitar abad ke-18 seiring dengan pergerakan Tionghoa ke Surakarta pada tahun 1740-1741. Keberadaan Klenteng Amurvabhumi atau Klenteng Hok Tiek Bio telah menjadi saksi sejarah masuknya ajaran agama Buddha di kota Salatiga.

Setelah kedatangan Belanda, orang Cina di kota Salatiga pada saat itu setara dengan orang Eropa. Orang Cina berperan penting dalam kegiatan ekonomi orang Eropa. Sejak Belanda menguasai daerah, orang Cina dijadikan perantara dalam hubungan dagang dengan pribumi.

Pada penelitian projek akhir yang dilakukan oleh Guntur Priyanto alumni Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Satya Wacana yang berjudul Perkembangan Fungsi Bangunan Istana Djoen Eng di Salatiga Pada Tahun 1921-1968, orang Cina juga membangun rumah dan gedung-gedung permanen seperti yang dilakukan orang Belanda.

Namun, bangunan rumah mereka tidak sebesar dan seluas milik orang Eropa, hanya berarsitektur berderet panjang seperti rumah kopel dan diletakkan pada kawasann Chinese Wijk. Kebanyakan rumah mereka sekaligus digunakan untuk tempat usaha.

Kedatangan Kwik bersaudara yang terdiri dari Kwik Hong Biauw, Kwik Ing Djie, Kwik Djoen Eng, Kwik Ing Sien, dan Kwik Ing Hi di Jawa sebagai pengimpor teh dari Taiwan. Setelah di Jawa mereka memilih untuk terpisah dan menjalankan usaha mereka. Tempat awal mereka saat terpisah berada di Yogyakarta, Solo, dan Surabaya, kemudian dalam perkembangan juga berada di Salatiga dan Semarang. “Teh Tjap Semar” merupakan merek teh yang mereka hasilkan, tentunya mereka memberikan merek dari icon budaya lokan dan melekat dengan orang-orang Jawa karena sebagian dari bahan baku mereka diambil dari tanah Jawa.

Salah satu dari Kwik bersaudara, Kwik Djoen Eng, merupakan seorang businessman yang unggul. Perusahaan eksport-import hasil bumi, NV. Kwik Hoo Tong Handel Maatshappij, didirikan pada tahun 1877 di Semarang. Sekitar tahun 1920, perusahaannya telah berkembang menjadi salah satu firma Hindia Belanda yang terbesar, dan memiliki cabang di seluruh Indonesia maupun luar negeri seperti Cina, Taiwan, Eropan, dan Amerika. Kwik Djoen Eng dapat dikatakan sebagai orang terkaya kedua setelah Oe Tiong Ham yang merupakan saudagar gula dari Semarang.

"Di Salatiga, Kwik Djoen Eng membangun tempat tinggalnya di Kawasan Europeeshe Wijk. Kompleksnya dibangun pada tahun 1921 dan selesai empat tahun kemudian, lalu diresmikan dengan merayakan pesta yang sangat meriah. Menurut cerita, biaya total pembangunan kompleks itu sekitar 3 juta gulden Belanda, jelas ini merupakan jumlah yang sangat besar. Bahkan Kwik Djoen Eng juga sering melakukan perubahan dan penambahan pada desain awalnya supaya menjadi benar-benar sempurna," tulis Guntur pada penelitiannya.

Baca Juga: Asal Usul Nama Salatiga, Benarkah Karena Ada Tiga Kesalahan?

Dalam wawancara yang dilakukan Guntur dengan Lanny pengurus Institut Roncalli menjelaskan bahwa, tiang pergola di taman dan semacam gardu yang berada di Istana Kwik Djoen Eng berwarna merah menyala dan kuning, sangat bercorak khas Cina. Terdapat kebun binatang mini, kolam, lapangan tenis, dan kebun kopi. Kemudian pada induk bangunan terdapat 5 kubah yang menyerupai pagoda. Bagian kubah tengah tersebut melambangkan Kwik Djoen Eng selaku pemilik istana, 4 kubah lain yang mengelilinginya adalah 4 putra kesayangannya, dan ornamen kubah melambangkan sebagai rahim ibu, ini karena Djoen Eng sangat menghargai sosok seorang Ibu.

Istana Djoen Eng memiliki interior yang sangat cantik, terdapat dinding-dinding yang dilapisi marmer, lantai yang beragam motif kaya akan warna, dan ornamen kaca yang menyerupai lukisan. Pada buku yang ditulis oleh Eddy Supangkat, taman pada Istana Djong Eng ini di sekeliling bangunan ditata sedemikian bagus seperti tempat rekreasi dengan corak khas Cina.

Sayangnya, Kwik Djoen Eng bertahan untuk menempati istananya hingga tahun 1940 saja, karena krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 30-an, dan mengakibatkan perusahaan Kwik Djoen Eng bangkrut dan terlilit hutang. Untuk melunasi hutangnya, seluruh kompleksnya yang berada di Salatiga disita oleh Javaache Bank. Ada cerita pula, bahwa Kwik Djoen Eng wafat pada saat perjalanannya pulang ke kampung halamannya di Taiwan.