Erupsi Anak Krakatau 2018: Bukan Magma Penyebabnya tetapi Keruntuhan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 30 Januari 2022 | 08:00 WIB
Erupsi Anak Krakatau tahun 2018 bukan disebabkan oleh aktivitas magma seara langsung, melainkan adanya keruntuhan di dalam tubuh gunung. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

"Apa yang Anak Krakatau 2018 coba sampaikan, mungkin bisa menjawab beberapa hal yang terjadi di Semeru pada saat ini, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda khusus," jelasnya.

"Temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikeliling oleh gunung berapi aktif dan pulau-pulau gunung api di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang," Mirzam menambahkan.

Baca Juga: Misteri Letusan Gunung Berapi Tonga yang Berusaha Dipecahkan Ilmuwan

Sebelumnya, Gunung Semeru juga meletus pada  4 Desember 2021. Akan tetapi, lewat citra radar tidak ditemukan adanya perubahan pada tubuh gunung itu.

Sandy Budi Wibowo, pakar sistem informasi geografi menyimpulkan tidak adanya perubahan ini disebabkan tidak adanya suplai magma dari dalam. Artinya, erupsi Gunung Semeru tidak ada hubungannya dengan suplai magma dari bawah, melainkan faktor lain.

"Ini menguatkan statement sebelumnya tampaknya erupsinya tidak berhubungan dengan suplai magma dari dalam perut Bumi. Kalau tidak ada suplai magma, gunungnya tidak mengembang," ujar Sandi di Kompas.com.

Untuk itu, Kyra Cutler, peneliti utama dari Department of Earth Sciences, University of Oxford, menyarankan bahwa perlu adanya evalusi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi, yang tentunya akan sangat membantu meberikan pemahaman yang lebih baik terkait kemungkinannya terjadi kembali bencana seperti itu.

Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara  

Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan, mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut.

“Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko,” pungkasnya.