Nationalgeographic.co.id—Prasasti Plumpungan yang terletak di kecamatan Sidorejo kota Salatiga. Benda ini diperkirakan memiliki usia kurang lebih 1271 tahun. Prasasti ini memiliki beberapa informasi yang tertulis dalam bahasa Jawa kuno.
Menurut Surotun (32), Juru pelihara Prasasti Plumpungan, tim peneliti pernah melakukan pembacaan atas informasi Prasasti Plumpungan 30 tahun silam. Mereka menerjemahkan teks Jawa kuno ke Bahasa Indonesia.
Menurut informasi, proses awal dalam penulisan di atas batu ini adalah dengan menggunakan getah pada ujung daun mempelam, kemudian dipahatlah Aksara Jawa Kuno sehingga menjadi Prasasti Plumpungan.
Prasasti Plumpungan memuat cukup lengkap informasi di dalamnya. Salah satunya adalah alasan mengapa desa Hampra diberikan status Perdikan (dibebaskan dari pajak) ketika itu, yaitu atas jasa masyarakat desa tersebut dalam bidang keagamaan. Menurut keterangan dalam isi prasasti, penetapan ini juga menyebutkan kata candi di dalamnya.
- /Srīr = astu swasti prajãbhyah šakakalatīta 672/4/31/--(--)
- Maddhyãham //O//
- //dharmmãrtham ksetradãnam yad= Udayajananam yo dadãtisabhaktya
- Hampragramam trigrãmyãmahitam = anumatam siddhadewyãsca tasyãh
- Kosãmrãgrãwelekhãksarawidhiwidhita prãntasimãwidhãnam
- Tasyaitad = bhãnunãmno bhuwi bhawatu yašo jiwitamsaiwa
Diartikan menjadi:
- Semoga bahagia (Srīr = astu) ! Selamatlah rakyat sekalian (swasti prajãbhyah) ! Tahun šaka telah berjalan 672/4/31/ pada hari jumat (sukrawara)
- tengah hari //O//
- dari Beliau, demi agama (dharmmãrtham) sebagai dharama bakti kepada Yang Maha Tinggi (Iša), telah menganugrahkan sebidang tanah atau tanam (ksetradãnam), agar memberikan kebahagiaan kepada mereka (Udayajananam)
- yaitu Desa Hampra (Hampragramam) yang terletak (hitam) wilayah trigrãmyãma (trigrãmyãmahitam) dengan restu (anumatam) dari sīddhadewī (Sang Dewi yang Sempurna) berupa daerah bebas pajak atau perdikan (prãntasimãwidhãnam), dan
- ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti (lekhãksarawidhiwidhitam) yang ditulis menggunakan ujung mempelam (Kosãmrãgrã),
- dari Beliau yang bernama Bhanu (bhãnunãmno), (dan mereka) dengan bangunan suci tau candi (yašo) ini, selalu (nityam) menemukan hidup abadi (jiwitam).
Informasi yang ada pada prasasti Plumpungan menjadi cikal bakal ditetapkanya hari lahir Kota Salatiga. Menurut salah satu Pakar tarikh L C. Damais yang ditulis pada papan keterangan di Prasati Plumpungan, menjelaskan bahwa tanggal 672/4/31 berarti tanggal 31 bulan ke-4, tahun 672 Saka. Untuk dijadikan ke Masehi, tahun Caka harus ditambah 78 tahun, sehingga menjadi 672+78= 750 Masehi, Bulan Asadha (bulan ke-4) berlaku di antara 22 juni dan 22 juli. Tanggal 31 Asadha apabila dihitung ke Masehi dari 22 Juni dimajukan 31 hari menjadi 24 Juli.
"Berdasarkan tarikh prasasti, maka disimpulkan bahwa Prasati Plumpungan ditetapkan pada Hari Jumat, tanggal 24, bulan Juli, tahun 750 Masehi. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga, menetapkan tanggal 24 Juli 750 M sebagai Hari Jadi Salatiga,” jelas Surotun (24/02/2022).
Prof. Dr. R Ng. Poerbatjaraka pernah mengartikan kata 'Siddhadewi' adalah nama lain Dewi Trisala. Dapat diduga, asal-usul nama Salatiga adalah sebagai penanda sebutan daerah yang ketika itu penduduknya taat memuja Dewi Trisala kemudian secara etimologi bahasa menjadi Sala Tri dan akhirnya dikenal sebagai Salatiga.
Penamaan kota Salatiga memang memiliki beberapa versi, seperti yang pernah dibahas pada artikel National Geographic 2019 silam: (Asal Usul Nama Salatiga, Benarkah Karena Ada Tiga Kesalahan?)
Dalam buku Hari Jadi kota Salatiga, wilayah Trigramyama atau Trigramyam/ Trigramya dengan Tri yang berarti tiga dan gram yang berarti desa (grama). Dengan demikian Trigramya berarti Tiga Desa atau mempunyai tiga wilayah desa. Tiga Desa tersebut adalah Desa Hampra yang sekarang menjadi Dukuh Plumpungan, Desa Puhunan sekarang menjadi Pulutan, dan Desa Praktaha sekarang Padaan di Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. Trigramya inilah yang kemudian terus berkembang menjadi Salatiga.
Pendapat lain juga muncul dari Warin D (33), seorang pegiat Salatiga Heritage. Ia menduga bahwa penamaan Salatiga berasal dari tiga candi yang terletak tidak jauh dari Plumpungan.
"Salah satu sumber asal nama Salatiga berasal dari tiga buah candi ini, di mana masyarakat ketika itu menyebutnya wilayah Salatiga dengan nama Selo Tigo (Selo: batu, Tigo: tiga), merujuk kepada kebiasaan masyarakat lokal kala itu yang juga biasa menyebut candi dengan kata 'selo' karena bangunan candi memang terbuat dari bahan batu," jelas Warin saat diwawancarai.
Warin menambahkan bahwa candi-candi tersebut pada 1746 dipergunakan oleh Belanda untuk membangun benteng.
Beberapa temuan sisa bongkahan-bongkahan candi yang ditemukan di Kalitaman, saat ini disimpan di Museum Salatiga Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo.
Meskipun tulisan dalam prasasti tersebut sudah pernah diterjemahkan 30 tahun lalu, perlu adanya pengkajian ulang terhadap prasasti Plumpungan. Penggunaan Ilmu pengetahuan atau teknologi baru diharapkan dapat memperkaya kajian atas prasasti tersebut.
Baca Juga: Riwayat Fungsi Bangunan Istana Djoen Eng di Salatiga 1921-1968