Nationalgeographic.co.id—Desmond Tutu adalah seorang uskup agung Anglikan Afrika Selatan, seorang humanis sejati, dan sangat percaya pada humanisme komunalistik. Ia lahir di Klerksdorp, Afrika Selatan, pada tanggal 7 Oktober 1931.
Kepergian Uskup Agung Emeritus Desmond Mpilo Tutu pada 26 Desember 2021, seolah telah merampas Afrika Selatan, benua Afrika, dan dunia dari ikon kejujuran, reservoir kebijaksanaan, pemimpin spiritual dan kompas moral.
"Antara tahun 1931 dan 1960, ketika ia menjadi imam Gereja Anglikan, ia menjalani serangkaian pelatihan dan pengembangan diri," tulis Falola kepada Premium Times.
Toyin Falola, seorang profesor Sejarah dan Profesor Pendidikan di University of Texas menulis dalam artikelnya yang berjudul Desmond Tutu: High priest of Ubuntu, true humanism, quits the stage, yang dipublikasikan pada 1 Januari 2022.
Seakan menjadi takdirnya, Tutu lahir dan dibesarkan di Afrika Selatan ketika sistem apartheid berkembang pesat. Ia menyaksikan banyak orang kulit putih yang merupakan tamu, menindas ras kulit hitam di rumahnya sendiri.
"Dia adalah salah satu orang yang beruntung, penerima kesempatan dari sistem yang sangat tidak adil, dan dia tidak pernah melupakan itu, yaitu kesempatan menempuh pendidikan," imbuhnya.
"Setelah Desmond Tutu berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1960, ia tahu bahwa sudah waktunya untuk menggunakan apa yang dia peroleh (dari pendidikannya) demi kebaikan rakyatnya," lanjutnya.

"Arch, begitu ia akrab disapa, memiliki keengganan yang kuat terhadap konflik sosial sambil mewujudkan rasa keadilan yang mendalam," tulis Motlanthe kepada IOL.
Kgalema Motlanthe dalam artikelnya menulis tentang perjuangan Desmond Tutu dalam membela rakyatnya dari serangan sosial akibat isu rasial di negerinya. Tulisannya berjudul Desmond Tutu, a towering figure in the history of South Africa, publish 31 Desember 2021.
Ia percaya bahwa semua manusia diciptakan menurut takdir Tuhan dan, oleh karena itu, setiap teologi yang mengajarkan pemisahan berdasarkan ras adalah sebuah kesalahpahaman.
"Dia membantu membentuk Front Demokrat Bersatu (UDF) pada tahun 1983 dan menjadi aktivis yang mempertahankan eksistensinya," imbuhnya.
Desmond Tutu selalu berada di garis depan untuk membawa organisasi tersebut, mengantarkan pada periode aksi massa yang bergulir dari pemogokan buruh, boikot konsumen, dan protes lainnya terhadap dominasi kulit putih yang menindas.
Mobilisasi massa berkontribusi besar untuk membuat rezim apartheid menyadari bahwa mereka secara bertahap kehilangan kendali atas negara.
Ia memainkan peran utama dalam meyakinkan komunitas internasional untuk menjatuhkan sanksi pada Afrika Selatan dan bagi perusahaan asing untuk tidak berinvestasi lagi di negara tersebut.
"Uskup agung itu berdiri untuk perdamaian dan perlawanan non-kekerasan dalam mengejar tujuan politik, tetapi masih mengerti mengapa gerakan pembebasan dianggap perlu untuk menempuh jalur perjuangan bersenjata di awal 1960-an," terus Motlanthe.
Pusaranya menggambarkan tentang perjuangan Tutu. Ia tidak membatasi aktivismenya di Afrika Selatan, tetapi seorang internasionalis yang tertarik pada keadilan sosial dan penyelesaian konflik di seluruh dunia.
Baca Juga: Peran PBB Terhadap Kemanusiaan Melalui Larangan Penggunaan Nuklir