Saat Membuat Keputusan, Apa yang Menyebabkan Kita Ragu atau Yakin?

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 5 Februari 2022 | 13:00 WIB
Donat atau apel? Keyakinan yang kita miliki dalam keputusan semacam ini bergantung pada seberapa cermat kita membuatnya. (Colourbox)

Baca Juga: Mata Robot Kembangan MIT Ini Bisa Melihat dan Analisis Seperti Manusia

 Dengan menggunakan data ini dan kumpulan data serupa dari kelompok penelitian yang berbeda, Polanía bersama dengan mahasiswa PhD-nya Jeroen Brus mengembangkan model komputer. Model tersebut dapat memprediksi dalam kondisi apa orang akan memiliki keyakinan atau kekurangannya dalam keputusan mereka.

Model tersebut menggunakan pola gerakan mata peserta untuk menentukan seberapa banyak usaha yang mereka lakukan untuk mengevaluasi dan membandingkan produk yang berbeda. Seseorang yang meluangkan waktu dan selalu menjaga kedua pilihan dalam pandangan mereka dianggap telah menginvestasikan upaya perhatian yang tinggi. Sementara mereka yang cenderung terpaku hanya pada satu pilihan dan mengabaikan yang lain dianggap kurang perhatian.

Cara terbaik untuk mengilustrasikan temuan ini adalah dengan mempertimbangkan contoh dari kehidupan sehari-hari. Jika kita tanpa berpikir menambahkan donat ke keranjang belanja kita, bahkan setelah menyatakan niat untuk makan lebih sehat, dan kemudian menyadari bahwa kita bahkan tidak memikirkan alternatif yang lebih sehat. Maka kita memiliki kepercayaan diri yang rendah dalam keputusan kita dan merevisinya.

Sebaliknya, jika kita sadar telah mempertimbangkan dengan cermat serangkaian produk yang lebih sehat tetapi kemudian memutuskan untuk tidak menggunakannya karena kita hanya menginginkan donat lebih dari sekadar apel atau pir, kita akan yakin dengan keputusan kita. "Begitu kita membuat keputusan, kita dapat merasa ragu dengan nilainya dan merevisinya hanya jika kita benar-benar menyadari fakta bahwa kita gagal memberikan perhatian yang cukup untuk membandingkan opsi," kata Polanía.

Polanía mengatakan model algoritma ini pada akhirnya dapat diaplikasikan pada kacamata pintar yang melacak gerakan mata. "Kacamata bisa menggunakan model untuk menentukan seberapa perhatian kita dan memberi tahu kita kapan kita harus mempertanyakan keputusan," katanya.

Polanía juga percaya model itu bisa berguna untuk mobil yang bisa mengemudi sendiri. Algoritma yang digunakan dalam kendaraan otonom terus-menerus membuat keputusan berdasarkan aliran data yang berkelanjutan dari sensor kendaraan. "Model kami dapat membantu kendaraan mengevaluasi keputusannya dan merevisinya jika perlu," kata Polanía.

Baca Juga: Sains Terbaru: Oksimeter dan Alat Kedokteran Berbasis AI Bisa Bias