Saat Membuat Keputusan, Apa yang Menyebabkan Kita Ragu atau Yakin?

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 5 Februari 2022 | 13:00 WIB
Donat atau apel? Keyakinan yang kita miliki dalam keputusan semacam ini bergantung pada seberapa cermat kita membuatnya. (Colourbox)

Nationalgeographic.co.id - Saat membuat keputusan, beberapa keputusan secara intuitif terasa benar, sementara keputusan lainnya membuat kita merasa ragu. Bahkan beberapa keputusan yang kita ragukan membuat kita merevisi pilihan awal kita. Apa yang sebenarnya terjadi dan dari mana datangnya perasaan ini?

Penelitian terbaru dari tim di ETH Zurich dan Zurich University kini untuk pertama kalinya menunjukan bagaimana kita menilai sebuah keputusan diri sendiri. Rincian penelitian tersebut telah dipublikasikan di nature communications dengan judul "Sources of confidence in value-based choice".

Sebagai contoh, membeli mobil bekas dengan harga yang baik terasa menyenangkan. Akan tetapi memilih donat yang tampak lezat di supermarket membuat kita ragu. Bagaimanapun, kita telah memutuskan untuk makan makanan yang lebih sehat tahun ini. Jadi bukankah lebih baik membeli sebuah apel? Kita semua tentu pernah mengalami perasaan ini pada satu waktu atau yang lain.

Pada penelitian yang dipimpin Profesor ETH Rafael Polanía menyelidiki pertanyaan ini secara sistematis. Penulis menggunakan data eksperimen untuk mengembangkan model komputer yang dapat memprediksi bagaimana seorang individu akan memilih di antara pilihan yang berbeda dan mengapa mereka kemudian merasa yakin atau ragu tentang keputusan yang mereka buat.

"Dengan menggunakan model kami, kami telah berhasil menunjukkan bahwa keputusan kemungkinan besar akan terasa benar jika kami telah menginvestasikan upaya perhatian yang signifikan dalam menimbang berbagai pilihan dan, terlebih lagi, sadar telah melakukannya," kata Polanía, yang mengepalai Lab Keputusan Neuroscience di ETH Zurich dalam rilisnya.

Akibatnya, kemampuan untuk mempertanyakan dan merevisi keputusan yang buruk bergantung pada seberapa baik kita dapat menilai sendiri. Apakah kita mempertimbangkan pilihan secara menyeluruh atau membiarkan diri kita terganggu selama proses pengambilan keputusan.

Baca Juga: Daya Tarik dan Ras: Di Balik Keputusan Mengusap di Aplikasi Kencan

Kesadaran diri ini, yang biasanya disebut oleh para ahli sebagai introspeksi, merupakan prasyarat penting untuk pengendalian diri. Keputusan akan terasa benar bagi kita jika kita telah membandingkan pilihan dengan penuh perhatian dan sadar jika kita telah melakukannya. Ini membutuhkan kapasitas untuk introspeksi.

Menurut peneliti, keyakinan yang kita miliki dalam keputusan kita sendiri didasarkan pada perkiraan nilai subjektif yang biasanya kita buat secara otomatis dan tanpa pertanyaan sebagai bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Untuk memungkinkan analisis sistematis tentang bagaimana proses ini bekerja, Polanía dan timnya mempelajari bagaimana subjek uji mengevaluasi dan memilih makanan sehari-hari.

Saat membuat keputusan, beberapa secara intuitif terasa benar. (Pixabay)

Sebanyak 35 peserta studi awalnya diminta untuk mengevaluasi 64 produk dari dua jaringan supermarket Swiss. Mereka disajikan dengan gambar setiap produk di layar dan ditanya seberapa banyak mereka ingin memakannya di akhir percobaan. Pada bagian kedua percobaan, subjek uji diperlihatkan serangkaian gambar yang menunjukkan dua produk secara bersamaan. Dalam setiap kasus, mereka diminta untuk memilih salah satu dari dua pilihan, donat atau apel, pizza atau pir. Mereka kemudian menilai seberapa besar kepercayaan yang mereka miliki dalam keputusan mereka.

Untuk membuat percobaan serealistis mungkin, para peserta harus makan produk setelah percobaan. Para peneliti menggunakan pemindai mata selama fase evaluasi dan pengambilan keputusan untuk menentukan apakah peserta menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat salah satu dari dua produk. Seberapa sering pandangan mereka bergeser dari kiri ke kanan, dan seberapa cepat mereka membuat keputusan.

Baca Juga: Mata Robot Kembangan MIT Ini Bisa Melihat dan Analisis Seperti Manusia

 Dengan menggunakan data ini dan kumpulan data serupa dari kelompok penelitian yang berbeda, Polanía bersama dengan mahasiswa PhD-nya Jeroen Brus mengembangkan model komputer. Model tersebut dapat memprediksi dalam kondisi apa orang akan memiliki keyakinan atau kekurangannya dalam keputusan mereka.

Model tersebut menggunakan pola gerakan mata peserta untuk menentukan seberapa banyak usaha yang mereka lakukan untuk mengevaluasi dan membandingkan produk yang berbeda. Seseorang yang meluangkan waktu dan selalu menjaga kedua pilihan dalam pandangan mereka dianggap telah menginvestasikan upaya perhatian yang tinggi. Sementara mereka yang cenderung terpaku hanya pada satu pilihan dan mengabaikan yang lain dianggap kurang perhatian.

Cara terbaik untuk mengilustrasikan temuan ini adalah dengan mempertimbangkan contoh dari kehidupan sehari-hari. Jika kita tanpa berpikir menambahkan donat ke keranjang belanja kita, bahkan setelah menyatakan niat untuk makan lebih sehat, dan kemudian menyadari bahwa kita bahkan tidak memikirkan alternatif yang lebih sehat. Maka kita memiliki kepercayaan diri yang rendah dalam keputusan kita dan merevisinya.

Sebaliknya, jika kita sadar telah mempertimbangkan dengan cermat serangkaian produk yang lebih sehat tetapi kemudian memutuskan untuk tidak menggunakannya karena kita hanya menginginkan donat lebih dari sekadar apel atau pir, kita akan yakin dengan keputusan kita. "Begitu kita membuat keputusan, kita dapat merasa ragu dengan nilainya dan merevisinya hanya jika kita benar-benar menyadari fakta bahwa kita gagal memberikan perhatian yang cukup untuk membandingkan opsi," kata Polanía.

Polanía mengatakan model algoritma ini pada akhirnya dapat diaplikasikan pada kacamata pintar yang melacak gerakan mata. "Kacamata bisa menggunakan model untuk menentukan seberapa perhatian kita dan memberi tahu kita kapan kita harus mempertanyakan keputusan," katanya.

Polanía juga percaya model itu bisa berguna untuk mobil yang bisa mengemudi sendiri. Algoritma yang digunakan dalam kendaraan otonom terus-menerus membuat keputusan berdasarkan aliran data yang berkelanjutan dari sensor kendaraan. "Model kami dapat membantu kendaraan mengevaluasi keputusannya dan merevisinya jika perlu," kata Polanía.

Baca Juga: Sains Terbaru: Oksimeter dan Alat Kedokteran Berbasis AI Bisa Bias