Nationalgeographic.co.id—Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan ragam tradisi dan budaya. Salah satu tradisi turun menurun dari nenek moyang yang masih sering dilakukan oleh beberapa masyarakat Indonesia adalah tradisi sesajen. Biasanya dalam tradisi ini masyarakat menyajikan buah-buahan, telur, makanan, minuman, dan beragam bunga.
Menurut Dr. Samsul Maarif dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gajah Mada (CRCS UGM), sesajen merupakan media produksi sosial, budaya, dan keagamaan untuk toleransi. Sesajen bukan hanya antara manusia lintas identitas, tetapi juga antara manusia dan alamnya.
“Sesajen adalah kreativitas leluhur yang diwariskan dengan menekankan pandangan dunia yang ekosentris: hidup bersama dengan semua yang hidup secara selaras,” tambah Anchu sapaan akrab Samsul Maarif.
Upacara 1.000 Sesajen dan Dupa: Doa Lintas Agama Lintas Budaya digelar di pelataran Candi Gedong Songo pada 1 Februari 2022. Perhelatan ini merupakan wujud dari pelestarian budaya Nusantara sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Doa lintas agama dan lintas budaya ini dihadiri oleh 23 paguyuban dari berbagai daerah, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, sampai Bali.
Untuk memeriahkan upacara ini masing-masing masyarakat membawa sesajen dan dupa dari rumah. Sesajen dan dupa itu ditata berjejeran di depan pelataran Candi Gedong Songo.
Para tetua paguyuban menyampaikan sambutan. Selanjutnya mereka merapal doa lintas agama bersama, dan pembagian sesajen sebelum upacara selesai. Rupa sesajen tak hanya berupa bunga-bunga, tetapi juga dalam bentuk makanan dan buah-buahan. Pembagian sesajen kepada warga bertujuan agar tidak ada makanan yang terbuang.
“Upacara ini adalah wujud bakti anak-anak Nusantara kepada Ibu Pertiwi. Di mana akhir-akhir ini, khususnya anak-anak muda mulai melupakan adat dan tradisi ini. Jadi, dengan diadakannya Upacara 1000 sesajen dan dupa dapat membangkitkan kesadaran anak-anak muda tentang budaya ini,” ungkap Sarwan pemangku adat Gedung Songo atau tetua kepada National Geographic Indonesia.
"Masyarakat boleh mempelajari budaya dari luar, tetapi hargai dan jangan pernah melupakan budaya, adat, dan tradisi dari asalnya," tambah Sarwan.
Mengingat Indonesia yang memiliki lebih dari 700 suku dan bersemboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti 'berbeda-beda tetapi tetap satu jua', menjadikan Indonesia sebagai negara yang bertoleransi tinggi. Selain suku dan budaya, Indonesia juga memiliki beragam kepercayaan dan agama.
“Toleransi beragama di Indonesia secara umum memiliki akar yg dalam, yang sebenarnya terus direproduksi melalui ragam produksi sosial dan budaya,” jelas Anchu.
Anchu menjelaskan bahwa saat ini terjadi intoleransi pada masyarakat Indonesia. Intoleransi ini mendasari seseorang dalam membangun perilaku dan pengetahuannya, termasuk pengetahuan keagamaan yang eksklusif. Bangunan pengetahuan keagamaannya didominasi oleh keterbatasan sumber dan meyakini bahwa pengetahuannya paling benar.
“Pengetahuan dan perilaku eksklusif semacam ini tentu saja merupakan tantangan bagi toleransi beragama di Indonesia. Tantangan tersebut nyata, dan karena itu harus dihadapi dan diatasi,” tutur Anchu.
Untuk menghadapi dan mengatasi hal ini diperlukan ruang diskusi, dialog, dan interaksi secara terbuka. Ruang diskusi yang terbuka ini boleh digunakan bagi siapapun yang ingin berekpresi, berbicara, saling mendengarkan, dijaga, dan dilindungi oleh negara.
“Cara ini jauh lebih berguna dan berdaya tahan untuk reproduksi pengetahuan dan perilaku toleran daripada represi dan intimidasi,” pungkasnya.
Baca Juga: Di Manakah Kawasan Muslim yang Paling Sedikit Mengalami Arabisasi?