Nationalgeographic.co.id—Senin Wage, tanggal 9 Maret 1903 menjelang waktu zuhur, di kawasan Messter Cornelis, Batavia, seorang bayi dilahirkan yang kemudian dikenal dengan Wage Rudolf Supratman.
Ia merupakan anak ketujuh dari seorang bekas tentara Hindia-Belanda, KNIL, bernama Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan istrinya, Siti Senen. Keduanya berasal dari Jawa Tengah.
Minat dan bakatnya terhadap musik telah tumbuh dalam diri Wage sejak masih kecil. Kakak iparnya, van Eldik, gemar sekali memainkan biola yang diiringi suara merdu kakak sulungnya, Rukiyem Supraptinah.
Menurut Adis Rona Januari dalam skripsinya, ia menyebut bahwa Makassar sebagai tempat dimulainya gairah hidup WR Supratman. Skripsinya berjudul Patriotisme dalam Bermusik Wage Rudolf Supratman (1926-1945), yang dipublikasi pada 2020.
Ia mulai menekuni bermusik, mulai dari penguasaan biola dan not balok. Tentunya, bersama dengan van Eldik dan Rukiyem Supraptinah, saudara-saudara yang telah menginspirasinya dalam bermusik.
Baca Juga: Sejarah Dangdut, Musik Nusantara yang Tak Pernah Dilekang Waktu
Meski digembleng soal musik, prestasinya di sekolah juga tak pernah tertinggal. Wage bahkan termasuk ke dalam siswa yang berprestasi. Selama tiga tahun bersekolah juga, ia telah mampu menguasai seluruh pengetahuan praktis seni musik.
Setelah lulus dari sekolah, Wage mulai fokus di bidang lain (selain bermusik). Ia menggeluti bermacam tes, salah satunya adalah lulus ujian berbahasa Belanda dengan nilai yang memuaskan.
Tes yang ia ikuti merupakan event seleksi pegawai negeri Hindia-Belanda KAE (Klein Ambtenaar Exam), membuatnya mengabdi beberapa waktu sebagai pengajar di sekolah dasar, sebelum akhirnya bekerja di di kantor Pengacara milik Mr. Schulten, teman baik Van Eldik.
Meskipun dikatakan tak sepenuhnya fokus di dunia musik, kemampuannya tetap tak luntur. Ia bahkan berinisiasi untuk membentuk sebuah grup musik bernuansa Jazz yang ia namai Black White Jazz Band.
"Karirnya di dunia musik dimulai sebagai anak band, bersama dengan van Eldik, Wage dipercaya sebagai violist," ungkap Bambang Sularto dalam bukunya, Wage Rudolf Supratman, terbitan 2012.
Band yang ia besut bersama kakak iparnya itu tak berlangsung lama. Sekitar tahun 1924, Wage mendapatkan panggilan jiwa untuk turut serta dalam gelora pergerakan nasional. Ia memutuskan untuk pergi dari Makassar menuju Jawa.
Baca Juga: Bermula dari Kongres Pemuda II, Sejarah Lagu Indonesia Raya
Setibanya di Jawa, hiruk pikuk pergerakan semakin terasa. Wage telah terpanggil manakala para tokoh meminta para komponis untuk menciptakan lagu-lagu yang bercerita tentang perjuangan.
Lagu-lagu perjuangan dianggap sebagai pengantar rasa semangat untuk dapat menggelorakan nuansa perjuangan dan kebangsaan. Konteksnya, para komponis menyumbangkan karyanya untuk membantu perjuangan melawan penjajah.
Penelusurannya dan pengalamannya terhadap musik, menyuguhkan satu karya fenomenal yang kemudian diperdengarkan kepada tokoh-tokoh pergerakan. Meski sangat gemar dengan musik jazz, Wage memilih menciptakan instrumental nasionalis yang jauh dari nuansa jazz.
Pertemuannya dengan Ir. Soekarno (panitia Kongres) menjadi titik balik. "Ia menyerahkan teks berjudul 'Indonesia', yang kemudian diganti menjadi 'Indonesia Raya'," imbuh Bambang Sularto.
Pada pertemuan Kongres Pemuda II pada 1928, lagu karya Wage Rudolf Supratman dikumandangkan. Lantunan biola dimainkan Wage dengan perasaan, mengalun, mendorong peserta Kongres menitikkan air mata. Instrumentalia yang menggugah.
Sejak saat itu, Indonesia Raya ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Karyanya masih lestari sampai hari ini sebagai bukti perjuangannya, perantauan seorang anak band yang patriotis dengan karyanya yang menggugah semangat kebangsaan.
Baca Juga: WR Supratman dan Kisah Asmaranya di Balik Lagu Indonesia Raya