Yakuza: Kendala Utama Jepang dalam Memerangi Bisnis Perdagangan Seks

By Ratu Haiu Dianee, Kamis, 17 Februari 2022 | 15:00 WIB
Pria menunjukkan tato tradisional Jepang yang terkait dengan yakuza selama festival tahunan Sanja Matsuri di distrik Asakusa Tokyo pada 20 Mei 2018 (AFP/Behrouz Mehri)

Nationalgeographic.co.id—Perdagangan seks merupakan salah satu bagian dari kasus kejahatan perdagangan manusia dan telah menarik perhatian masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan banyaknya korban dari kalangan para migran, perempuan, remaja, hingga anak-anak.

Dari segi kesehatan, tentunya perdagangan seks dapat menimbulkan dampak buruk bagi manusia, seperti penyakit kelamin menular dan gangguan psikologis korban. Selain itu, masalah yang disebabkan oleh perdagangan seks ini juga menyangkut masalah sosial dan moral.

Muhammad Rifqi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, mengungkapkan penelitiannya dalam Yakuza sebagai Kendala Jepang dalam Upaya Memerangi Sex Trafficking. Penelitian ini terbit di Journal of International Relations UNDIP. Kasus perdagangan seks di Jepang dapat dilihat dari sejarah masa imperialisme Jepang dahulu yang telah menciptakan “Comfort Women”, demikian ungkapnya.

Sementara itu Sue R. Lee dalam Comforting the Comfort Women: Who Can Make Japan Pay yang terbit di Journal of International Law, University of Pennsylvania, menunjukkan temuan menarik. Menurutnya, pada saat itu seks adalah kebutuhan para tentara Jepang yang harus terpenuhi. Kebutuhan ini sudah seperti makanan dan amunisi bagi mereka sebelum berperang.

Karena masa itu, para tentara Jepang jauh dari rumah dan istri mereka, sehingga menyebabkan mereka tertekan karena tidak terpenuhinya kebutuhan seks. Namun, banyak tentara Jepang yang memilih jalan keji untuk memenuhi kebutuhan seks dengan memperkosa para wanita yang mereka temui di daerah jajahan mereka. 

Akibatnya, hal ini tak lama memberikan dampak buruk bagi kesehatan para tentara Jepang dan mempengaruhi daya tahan mereka di medan perang.

Penutupan Tempat Pelayanan Kebutuhan Seksual para Tentara Jepang

Untuk mengatasi masalah para tentaranya, pemerintah Jepang kemudian membangun Comfort Station yang merupakan tempat hunian para Comfort Women. Di mana banyak perempuan dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual para tentara Jepang.

Namun pada akhirnya, setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua, Comfort Station akhirnya dihapus. Hal ini malah memunculkan banyak pebisnis prostitusi di Jepang hingga mengelabuhi Comfort Station dengan titel Soapland atau tempat pemijatan/restoran. Kejahatan perdagangan seks di Jepang pun tidak bisa lepas dari sejarah keberadaan Comfort Women.

Menurut riset, bahwa ada banyak cara yang telah diupayakan Jepang untuk menanggulangi perdagangan seks. Seperti penghapusan sistem Red Light District atau Blue Light District tahun 1956, dan merumuskan program Action Plan tahun 2004.

Program ini dilaksanakan dengan membangun koneksi bersama negara lain dalam pencegahan perdagangan manusia dan merevisi aturan terkait entertainer visa.

Di balik pintu tertutup, prostitusi legal berkembang di Hong Kong. Kebanyakan pekerja seks berasal d (Zika Zakiya)