Nationalgeographic.co.id—Perdagangan seks merupakan salah satu bagian dari kasus kejahatan perdagangan manusia dan telah menarik perhatian masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan banyaknya korban dari kalangan para migran, perempuan, remaja, hingga anak-anak.
Dari segi kesehatan, tentunya perdagangan seks dapat menimbulkan dampak buruk bagi manusia, seperti penyakit kelamin menular dan gangguan psikologis korban. Selain itu, masalah yang disebabkan oleh perdagangan seks ini juga menyangkut masalah sosial dan moral.
Muhammad Rifqi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, mengungkapkan penelitiannya dalam Yakuza sebagai Kendala Jepang dalam Upaya Memerangi Sex Trafficking. Penelitian ini terbit di Journal of International Relations UNDIP. Kasus perdagangan seks di Jepang dapat dilihat dari sejarah masa imperialisme Jepang dahulu yang telah menciptakan “Comfort Women”, demikian ungkapnya.
Sementara itu Sue R. Lee dalam Comforting the Comfort Women: Who Can Make Japan Pay yang terbit di Journal of International Law, University of Pennsylvania, menunjukkan temuan menarik. Menurutnya, pada saat itu seks adalah kebutuhan para tentara Jepang yang harus terpenuhi. Kebutuhan ini sudah seperti makanan dan amunisi bagi mereka sebelum berperang.
Karena masa itu, para tentara Jepang jauh dari rumah dan istri mereka, sehingga menyebabkan mereka tertekan karena tidak terpenuhinya kebutuhan seks. Namun, banyak tentara Jepang yang memilih jalan keji untuk memenuhi kebutuhan seks dengan memperkosa para wanita yang mereka temui di daerah jajahan mereka.
Akibatnya, hal ini tak lama memberikan dampak buruk bagi kesehatan para tentara Jepang dan mempengaruhi daya tahan mereka di medan perang.
Penutupan Tempat Pelayanan Kebutuhan Seksual para Tentara Jepang
Untuk mengatasi masalah para tentaranya, pemerintah Jepang kemudian membangun Comfort Station yang merupakan tempat hunian para Comfort Women. Di mana banyak perempuan dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual para tentara Jepang.
Namun pada akhirnya, setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua, Comfort Station akhirnya dihapus. Hal ini malah memunculkan banyak pebisnis prostitusi di Jepang hingga mengelabuhi Comfort Station dengan titel Soapland atau tempat pemijatan/restoran. Kejahatan perdagangan seks di Jepang pun tidak bisa lepas dari sejarah keberadaan Comfort Women.
Menurut riset, bahwa ada banyak cara yang telah diupayakan Jepang untuk menanggulangi perdagangan seks. Seperti penghapusan sistem Red Light District atau Blue Light District tahun 1956, dan merumuskan program Action Plan tahun 2004.
Program ini dilaksanakan dengan membangun koneksi bersama negara lain dalam pencegahan perdagangan manusia dan merevisi aturan terkait entertainer visa.
Yakuza Menjadi Salah Satu Penyokong Prostitusi Terbesar di Jepang
Terbukti pada penangkapan 1.300 pelaku kejahatan perdagangan seks pada 2010 yang didominasi oleh anggota Yakuza. National Human Trafficking Hotline mengungkapkan pada 2015, banyak bisnis perdagangan manusia yang dimiliki, dikuasai, atau dikenakan pajak oleh Yakuza.
Menurut peneliti terdahulu, pada akhir 1960-an kerena ekonomi Jepang menguat dan banyak orang Jepang yang lalu lalang ke luar negeri. Taipei, Seoul, Manila, dan Bangkok mulai dikunjungi oleh Yakuza. Dari daerah tersebut, perempuan-perempuan "diimpor" untuk dipekerjakan pada prostitusi jalanan di Jepang.
Baca Juga: Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya
Yakuza bertanggung jawab terhadap berkembangnya industri perdagangan seks di Jepang dan keuntungan dari bisnis ini sangat tinggi.
Melihat dari peningkatan kepariwisataan Jepang, Yakuza memanfaatkan peluang ini dengan mengoperasikan kegiatan bisnis mereka dengan menjual beberapa perempuan Jepang. Para turis akan diarahkan ke rumah bordil di mana Yakuza akan memperkenalkan mereka dengan mucikari lokal.
Yakuza kini telah mencapai tahap baru dengan memiliki cara sendiri saat melakukan perdagangan seks. Berawal dari makelar di negara asal yang merekrut para perempuan lalu menjualnya kepada Yakuza. Pada akhirnya Yakuza menjerat korban-korban dengan hutang dan paksaan.
Dalam aksinya ini, Yakuza dan beberapa asosiasi memiliki perannya masing-masing. Dimana Kokusai Kogyo 21 sebagai penyedia perempuan dan makelar, Zengeiren melakukan lobi-lobi terhadap oknum pemerintahan, dan Keiyukai melakukan keamanan bagi bisnis-bisnis Yakuza di Jepang.
Yakuza Menguasai Perdagangan Seks Jepang Hingga Lewat Jalur Politik
“Selama beberapa dekade terakhir, Yakuza telah memegang kontrol yang kuat terhadap politik domestik di Jepang. LDP, partai yang paling lama memenangi politik di Jepang, mendominasi politik di Jepang ketika partai itu pertama kali didirikan. LDP tidak bisa bertahan tanpa adanya pendukung finansial dari Yoshio Kodama, aktivis sayap kanan yang memiliki koneksi yang cukup kuat dengan Yakuza,” tulis Rifqi pada risetnya.
Dikutip dari World Policy Journal 2010, di awal didirikannya partai LDP, Yakuza telah mendanai dan membantu para kandidat LDP serta para pejabat yang terpilih. Mereka meminta imbalan untuk mendapatkan proyek pekerjaan publik, dukungan politik, dan kesepakatan tidak mengganggu aktivitas Yakuza.
Hal ini menjadikan pemerintah Jepang terhambat dalam penanggulangan perdagangan manusia dan seks di Jepang. Selain itu, karena Culture of Tolerance dalam masyarakat Jepang dengan menganggap perdagangan seks hanya kegiatan prostitusi yang dilakukan oleh para pelacur tanpa kekerasan.
Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki