Riwayat Nyonya-nyonya Cina di Jawa, Narasi Sejarah yang Terlupakan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 15 Februari 2022 | 12:00 WIB
Perempuan-perempuan Tionghoa berkebaya encim dengan dandanan tempo dulu. Mereka tampil dalam salah satu rangkaian acara pameran dan diskusi buku Peranakan Tionghoa Indonesia di Kota Lama Semarang. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

"Ingin betul saya berkenalan dengan anak-anak Cina yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita dan perasaan, jiwa mereka!"

Munculnya modernitas di kalangan Tionghoa awal abad ke-20, menurut Didi, adalah ada rasa ingin menunjukkan eksistensi bahwa mereka tidak kolot, dan bisa mengikuti gaya hidup Barat yang diadopsi dari rekan-rekan Eropanya. Tetapi, tidak sedikit pula kelompok tua yang kolot, sehingga kelompok muda memilih menunggu mereka wafat untuk menunjukkan modernitasnya.

Di bidang lain, perempuan Tionghoa dalam sejarah punya bakti sosialnya seperti yang dilakukan Lie Tjian Tjoen yang melawan perdagangan manusia. Dia tidak getir mendapatkan ancaman dari berbagai pihak dan mendirikan panti Roemah Ati Soetji.

Sosok Nyonya Lie Tjian Tjoen dalam buku biografi yang diluncurkan pada peringatan 100 tahun Yayasan Hati Suci pada 2014. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Didi menyorot pula beberapa tokoh perempuan yang andil dalam pergerakan kemerdekaan seperti Nyonya Liem Koen Hian, istri dari Liem Koen Hian, yang menemai dalam pertandingan sepak bola di Surabaya yang membakar semangat kebangsaan. Tokoh lainnya juga seperti Ho Wan Moy yang menjadi mata-mata pejuang kemerdekaan, dan The Sin Nio yang menyamar jadi laki-laki dengan nama Mochamad Muchsin demi bisa berperang.

Pada pasca kemerdekaan, perempuan Tionghoa pun jadi pelopor perempuan seperti jenderal polisi perempuan pertama pada Jeanne Mandagi, hakim perempuan pertama di Indonesia Thung Tjp Nio, Susy Nander yang merupakan penabuh drum senior dari band Dara Puspita, hingga Susi Susanti perempuan pertama Indonesia yang juara di laga bulu tangkis mancanegara.

Namun selain menjadi perempuan ideal dan berkontribusi di barbagai bidang, perempuan Tionghoa dicitrakan sebagai kambing hitam dan tumbal politik.

Baca Juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Kapitan Cina di Betawi

Misalnya, mereka dianggap bertanggungjawab atas runtuhnya Majapahit karena pernikahan Siu Ban Ci dengan Brawijaya V.  "Semacam 'pertahanan orang Kejawen' dalam menolak pengaruh Islam dengan mengkambinghitamkan Tionghoa karena jadi ibunda Raden Patah," terang Didi.

Perempuan Tionghoa dikambinghitamkan pula oleh Dipanagara ketika tertembak tentara kolonial Belanda. Ia menjadikan perselingkuhan dengan perempuan Tionghoa sebagai biang kehilangan kesaktiannya yang dikenal kebal peluru.

Padahal, menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dam Akhir Tatanan Dunia Lama di Jawa dalih ini agar tidak ketahuan istrinya atas hubungan gelap itu. "Jadi fabrikasi cerita. Takut ketahuan, ini gara-gara bercinta dengan nyonya Cina," jelas Didi.

Ada pula narasi "abu orang Tionghoa itu lebih tua dari orang Jawa" yang melegenda dari nasehat Pakubuowono kepada Arya Mangkunegara. Narasi ini pun awet di beberapa masyarakat.

Nestapa perempuan Tionghoa pun muncul dan menjadi pola lama dalam kejadian sejarah yang berulang. Kelompok ini dijadikan tumbal pada sejarah perpolitikan atau "kambing hitam di dalam kambing hitam," kata Didi, sebagaimana ia tuliskan di dalam buku Urip iku Urub.

Dia membuat pertanyaan yang menarik untuk digali. "Apa bila tidak ada pemerkosaan Mei 1998, apakah tuntutan demokratisasi dari pihak Tionghoa akan sebesar sekarang?" ucapnya. "Kita bisa bertanya demikian, itu saya anggap membuat dorongan demokratisasi semakin kuat karena ada pemerkosaan di peralihan kekuasaan Mei 1998 itu."

Baca Juga: Hypatia, Filsuf Perempuan yang Mati Tragis Karena Dibakar Hingga Mati