Riwayat Nyonya-nyonya Cina di Jawa, Narasi Sejarah yang Terlupakan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 15 Februari 2022 | 12:00 WIB
Perempuan-perempuan Tionghoa berkebaya encim dengan dandanan tempo dulu. Mereka tampil dalam salah satu rangkaian acara pameran dan diskusi buku Peranakan Tionghoa Indonesia di Kota Lama Semarang. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Cora Veerde-De Stuers tahun 1950an menerbitkan Sejarah Perempuan Indonesia yang kemudian dicetak ulang pada awal abad ke-21 sebagai tinjauan sejarah perempuan.

"Buku ini hanya baru membahas sejarah perempuan Bumiputera," ujar sejarawan budaya Tionghoa-Indonesia Didi Kwartanada dalam diskusi bulanan Urip iku Urub yang merupakan buku  persembahan 70 tahun sejarawan Peter Carey bertajuk 'Nyonyah Cina' dalam Sejarah Jawa, Sabtu (12/20/2022).

"Tapi bagaimana posisi perempuan Tionghoa dalam kanvas sejarah Indonesia? Apakah mereka liyan dan bukan bagian dari bangsa Indonesia?" lanjutnya. Sejak era Dinasti Zhou (1046 SM-249 SM), perempuan Tionghoa dijadikan alat untuk membuka perdamaian dengan menikahkan putri-putri istana pada bangsa nomanden yang menyerang mereka. Praktek ini kemudian menyebar ketika berdiplomasi dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.

Tidak sedikit akhirnya perempuan Tionghoa menikah dengan bangsawan kerajaan di Asia Tenggara, termasuk di Jawa. Pada masa Hindu-Buddha, perempuan dari kalangan Tionghoa Muslim Siu Ban Ci menikahi Brawijaya V yang melahirkan Raden Patah. Pernikahan ini bermasalah karena kelak Raden Patah inilah yang membawa kehancuran Majapahit lewat Kesultanan Demak yang didirikannya.

Narasi sejarah mengambarkan ketangguhan Raden Ayu Tan Peng Nio di masa Geger Pacinan melawan VOC di abad ke-18, ujar Didi. "[Dia seperti] Mulan van Java. Raden Ayu Tan Peng Nio menikah dengan Kolopaking III. Tan Peng Nio ini jago silat, calon suaminya terkesan dengan skill bela diri Tan Peng Nio dan masuk dalam silsilah resmi Kolopaking."

Kawasan di Kota Batavia, kemungkinan Jalan Tiang Bendera kini. Cuplikan dalam litografi Jakob van der Schley (1715–1779) berdasar lukisan karya Adolf van der Laan (1690 –1742) tentang Massacre des Chinois—pembantaian orang-orang Cina di Batavia pada 9 Oktober 1740. (Rijksmuseum Amsterdam)

Pernikahan dengan bangsawan sekaligus penyebar agama Islam pun terjadi di masa Kesultanan Cirebon, ketika Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong Tien. "Dan [kisah ini] masih hidup dalam popular memory, bahkan dibuat lagu," jelas Didi. Rentetan kisah ini disimpulkan bahwa perempuan Tionghoa digambarkan sebagai perempuan ideal.

Kejadian serupa terjadi di kesultanan Islam di Jawa, termasuk Putri Demang Mangunjaya (Rara Hoyi/Ma Oen) yang jadi rebutan Amangkurat I dan putranya, sejarawan dari Trinity College Peter Carey di forum yang sama menambahkan.

Tak melulu 'keindahan' fisik yang dimiliki sehingga menjadi gambaran ideal, perempuan Tionghoa memiliki kontribusi dalam berabagai bidang termasuk menginspirasi perempuan bumiputera. Raden Ayu Kartini lewat surat-suratnya memiliki kekaguman sendiri akan perempuan Tionghoa.

Selayaknya hal orang Jawa, orang Tionghoa juga kolot dalam urusan budaya dan menentukan urusan perempuan pada awal abad ke-20, ujar Didi. Pada masa itu, beberapa perempuan-perempuan Tionghoa seperti Hui Lan, muncul sebagai kelompok modernis dan kaya di Asia Tenggara.

Dalam kumpulan suratnya Door Duisternist tot Licht Kartini menulis, "Di surat kabar, baru saja saya baca bahwa beberapa anak perempuan Cina mengajukan agar mereka diperbolehkan turut menempuh ujian guru. Hore! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu."

Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

"Ingin betul saya berkenalan dengan anak-anak Cina yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita dan perasaan, jiwa mereka!"

Munculnya modernitas di kalangan Tionghoa awal abad ke-20, menurut Didi, adalah ada rasa ingin menunjukkan eksistensi bahwa mereka tidak kolot, dan bisa mengikuti gaya hidup Barat yang diadopsi dari rekan-rekan Eropanya. Tetapi, tidak sedikit pula kelompok tua yang kolot, sehingga kelompok muda memilih menunggu mereka wafat untuk menunjukkan modernitasnya.

Di bidang lain, perempuan Tionghoa dalam sejarah punya bakti sosialnya seperti yang dilakukan Lie Tjian Tjoen yang melawan perdagangan manusia. Dia tidak getir mendapatkan ancaman dari berbagai pihak dan mendirikan panti Roemah Ati Soetji.

Sosok Nyonya Lie Tjian Tjoen dalam buku biografi yang diluncurkan pada peringatan 100 tahun Yayasan Hati Suci pada 2014. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Didi menyorot pula beberapa tokoh perempuan yang andil dalam pergerakan kemerdekaan seperti Nyonya Liem Koen Hian, istri dari Liem Koen Hian, yang menemai dalam pertandingan sepak bola di Surabaya yang membakar semangat kebangsaan. Tokoh lainnya juga seperti Ho Wan Moy yang menjadi mata-mata pejuang kemerdekaan, dan The Sin Nio yang menyamar jadi laki-laki dengan nama Mochamad Muchsin demi bisa berperang.

Pada pasca kemerdekaan, perempuan Tionghoa pun jadi pelopor perempuan seperti jenderal polisi perempuan pertama pada Jeanne Mandagi, hakim perempuan pertama di Indonesia Thung Tjp Nio, Susy Nander yang merupakan penabuh drum senior dari band Dara Puspita, hingga Susi Susanti perempuan pertama Indonesia yang juara di laga bulu tangkis mancanegara.

Namun selain menjadi perempuan ideal dan berkontribusi di barbagai bidang, perempuan Tionghoa dicitrakan sebagai kambing hitam dan tumbal politik.

Baca Juga: Roemah Piatoe Ati Soetji, Filantropi Istri Kapitan Cina di Betawi

Misalnya, mereka dianggap bertanggungjawab atas runtuhnya Majapahit karena pernikahan Siu Ban Ci dengan Brawijaya V.  "Semacam 'pertahanan orang Kejawen' dalam menolak pengaruh Islam dengan mengkambinghitamkan Tionghoa karena jadi ibunda Raden Patah," terang Didi.

Perempuan Tionghoa dikambinghitamkan pula oleh Dipanagara ketika tertembak tentara kolonial Belanda. Ia menjadikan perselingkuhan dengan perempuan Tionghoa sebagai biang kehilangan kesaktiannya yang dikenal kebal peluru.

Padahal, menurut Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dam Akhir Tatanan Dunia Lama di Jawa dalih ini agar tidak ketahuan istrinya atas hubungan gelap itu. "Jadi fabrikasi cerita. Takut ketahuan, ini gara-gara bercinta dengan nyonya Cina," jelas Didi.

Ada pula narasi "abu orang Tionghoa itu lebih tua dari orang Jawa" yang melegenda dari nasehat Pakubuowono kepada Arya Mangkunegara. Narasi ini pun awet di beberapa masyarakat.

Nestapa perempuan Tionghoa pun muncul dan menjadi pola lama dalam kejadian sejarah yang berulang. Kelompok ini dijadikan tumbal pada sejarah perpolitikan atau "kambing hitam di dalam kambing hitam," kata Didi, sebagaimana ia tuliskan di dalam buku Urip iku Urub.

Dia membuat pertanyaan yang menarik untuk digali. "Apa bila tidak ada pemerkosaan Mei 1998, apakah tuntutan demokratisasi dari pihak Tionghoa akan sebesar sekarang?" ucapnya. "Kita bisa bertanya demikian, itu saya anggap membuat dorongan demokratisasi semakin kuat karena ada pemerkosaan di peralihan kekuasaan Mei 1998 itu."

Baca Juga: Hypatia, Filsuf Perempuan yang Mati Tragis Karena Dibakar Hingga Mati