Cerita Panji di Wayang Krucil dan Falsafah Jawa yang Lestari

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 18 Februari 2022 | 11:00 WIB
Tokoh-tokoh cerita Panji dalam wayang krucil Kediri. (Rudi Irawanto/Universitas Negeri Malang)

"Cerita wayang krucil mengambil cerita Panji, yang bagi sebagian masyarakat Jawa dinilai sebagai cerita rakyat yang tidak memiliki dasar filosfi sekuat wayang kulit," tulis Rudi. "Cerita Panji yang menjadi karakters seni wayang krucil belum dapat menandingi keberadaan seni wayang kulit yang berlatar belakang cerita-cerita dari India dengan konsep-konsep Hindu."

Namun, penggunaan cerita Panji berguna untuk penyebaran Islam, karena lebih melekat pada masyarakat Jawa dan tidak terlalu terpaku pada konsep kesenian Hindu dari India seperti Ramayana dan Mahabharata, tambahnya.

Ketika digunakan pada era Islam, wayang ini dipentaskan berpedoman pada sistem spiritualitas Islam-Jawa. Hal itu tampak pada penggunaan doa yang dibacakan dalam pementasan dan struktur ceritanya yang menyinggung kehadiran Islam di Nusantara.

"Nah saat perjuangan, Belanda masuk, muncul lagi lakon baru, lakon puger dan Diponegoro. Pokoknya lakon di masa penjajahan Belanda," tambah Harjito mengenai perkembangan wayang krucil. "

Baca Juga: Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi

Baca Juga: Upaya Seniman Tari dan Wayang Orang Memanfaatkan Teknologi untuk Bertahan di Tengah Pagebluk

Dari semua lakon, Panji adalah yang cerita yang menarik untuk dipentaskan, terang Harjito.

"Setelah saya pelajari dan saya tekuni, cerita Panji itu berhubungan dengan konsep kehidupan, karena konsep kehidupan tidak lepas dari namanya Gusti sing murbing dumadi (Tuhan yang maha esa) menggunakan media perantaraan tubuh bapak dan ibu," lanjutnya. "Inti cerita Panji adalah Panji Asmarabangun dan Galuh Candrakirana, seorang laki-laki dan perempuan. Lika-liku sebuah kehidupan."

"Hanya konsepnya Panji saya ibaratkan sebagai konsep kehidupan dari awal, tengah, dan akhir. Tujuan hidup. Kalau kita tidak mengetahui bapak-ibu kita, tentunya tidak pernah tahu siapa diri kita sendiri. Itu adalah konsep dari wayang krucil itu sendiri"

Bahannya dari kayu yang beda dengan wayang kulit, memiliki filosofi agar keinginan dalang pada penontonnya harus tembus dan bersatu. Ini adalah gambaran sebagai usaha manusia untuk bisa memenmbuskan harapannya kepada Tuhan, jabar Harjito.