Mengenal Mahar dan Jenis Perkawinan di Romawi Kuno, Seperti Apa?

By Hanny Nur Fadhilah, Senin, 11 April 2022 | 07:00 WIB
Relief kuno (abad ke-3 M), digunakan kembali di makam Kardinal Fieschi abad ke-13. (Walk in Rome)

  

Baca Juga: Cincin Berusia 2.000 Tahun Bukti Kisah Cinta Kaisar Romawi Caligula

Baca Juga: Ketika Homoseksualitas di Romawi Kuno Jadi Sebuah Status Sosial

Baca Juga: Jatuhnya Takhta Romawi Barat, Tanda Dimulainya Abad Pertengahan

Baca Juga: Kultus Isis, sang Dewi Kesuburan yang Dipercaya Masyarakat Romawi

   

Ada dua jenis pernikahan di Roma kuno: 'dengan tangan' (manus), dan 'tanpa tangan'. Sementara yang pertama mencegah perempuan untuk memiliki hak hukum, yang terakhir memberi mereka beberapa tingkat otonomi dibandingkan. Menurut hukum Romawi kuno, ada tiga jenis pernikahan: confarreatio, coemptio, dan usus.

Confarreatio adalah upacara keagamaan dengan sepuluh saksi, dan dilambangkan dengan pembagian biji-bijian tertentu yang dipanggang menjadi kue pengantin (farreum); coemptio berarti 'dengan membeli dan mengacu pada jenis pernikahan di mana istri membawa mahar ke dalam pernikahan; dan usus dilambangkan dengan kebiasaan kumpul kebo. Yang terakhir melibatkan pengantin wanita yang tinggal bersama suaminya setidaknya selama satu tahun, untuk menjadi manum suaminya. Jika dia tinggal jauh selama tiga malam atau lebih, dia tidak akan lagi berada di bawah naungan suaminya.

Plebeian atau usus biasanya menikah dengan coemptio, sedangkan bangsawan biasanya menikah dengan confarreatio. Keluarga elit, terutama sejak zaman Republik, ikut serta dalam perkawinan manus. Manus secara harfiah berarti 'tangan', sehingga perkawinan manus disebut demikian karena pengantin wanita diturunkan dari tangan ayahnya ke tangan suaminya. Sifat patriarki dari struktur sosial Romawi menjadi jelas di sini juga karena bagaimana perempuan dipaksa untuk tetap berada di bawah suatu bentuk kekuasaan laki-laki.

Mahar, Perceraian, Pernikahan Kembali, dan Perzinahan

Konsep mahar menjadi umum di Roma kuno. Mahar adalah suatu bentuk pembayaran yang diberikan oleh keluarga istri kepada suaminya, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran awal setelah pindah ke rumah suaminya. Ini lebih merupakan kebiasaan daripada paksaan. Mahar dianggap sebagai milik suami, tetapi dia tidak memiliki kebebasan penuh atas penggunaannya. Jika pasangan itu bercerai, itu harus dikembalikan kepada istri. Namun, jika istri mengajukan perceraian, suami dapat meminta sebagian dari mahar untuk merawat anak-anak.