Nationalgeographic.co.id—Ancaman invasi Rusia ke Ukraina masih terus bergulir hingga saat ini. Berbagai berita terus memperbarui kabar ini, dan berbagai asumsi bermunculan seperti tanda awal Perang Dunia III atau dampak embargo yang meluas akibat saling ancam.
Sebelumnya, dipaparkan bagaimana Rusia dan Ukraina memiliki akar sejarah yang sama sebelum invasi Mongol. Tetapi berikutnya, Ukraina tidak pernah bisa berdiri di atas kaki sendiri karena berbagai macam penguasaan masuk silih berganti berabad-abad lamanya.
Hal itu pun berlanjut pada penguasaan komunis yang menjatuhkan monarki Kekaisaran Rusia pada 1917. Perubahan bentuk dari Kekaisaran Rusia menjadi Uni Soviet, membuat Ukraina sepenuhnya dikuasai pada 1922.
Ukraina mengalami banyak kengerian di masa Uni Soviet, seperti pemaksaan pertanian kolektif pada 1930-an oleh Joseph Stalin yang mengakibatkan kelaparan dan kematian jutaan orang Ukraina (peristiwa Holodomor). Kebijakan Stalin lainnya adalah mengisi pendudukan orang Rusia di sisi timur Ukraina yang kekurangan penduduk akibat peristiwa ini.
Dari sinilah, menurut para ahli, terciptanya garis patahan yang berlangsung lama, di mana sisi timur memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Rusia dan cenderung condong mendukung pemimpin yang pro-Rusia. Sebaliknya, di bagian barat karena mengalami pengaruh kekuatan Eropa, kelompok ini cenderung mendukung politisi yang pro-Barat.
Pada 1991, Uni Soviet bubar dan Ukraina merdeka dan pekerjaan rumah tangga yang baru berdiri bukanlah perkara mudah untuk menyatukan sisi timur dan barat. Kondisi mereka sangat kacau ketika harus berpindah untuk mencapai demokrasi, dan terkadang bagi sebagian orang, terutama di timur, mendambakan stabilitas yang ada pada era Soviet.
"Kesenjangan terbesar setelah semua faktor ini adalah antara mereka yang memandang kekaisaran Rusia dan pemerintahan Soviet dengan lebih simpatik versus mereka yang melihatnya sebagai tragedi," ujar Adrian Karatnycky, mantan anggota Atlantic Council of the United States pada National Geographic. Dukungan ini sangat mencolok pada Pilpres Ukraina tahun 2004 dan 2010 antara kandidat yang pro-Barat dan pro-Rusia.
Lompat ke tahun 2014, Rusia menganeksasi Krimea dan munculnya gerakan separatis di Ukraina timur dengan mendeklarasikan Republik Rakyat Luhansk dan Donetsk yang juga didukung Rusia. Tak lama, tumbuh demonstrasi di Ukraina untuk menggulingkan presiden Viktor Yanukovych yang dianggap pro-Rusia telah mengabaikan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa, dan AS mendekat kepada para demonstran.
Koresponden Vox Jen Kirby dan Jonathan Guyer menulis, apa yang terjadi hari ini sebenarnya adalah kelanjutan apa yang terjadi pada 2014. Hal yang membuat Presiden Vladimir Putin bertindak adalah kemenangan Volodymyr Zelensky di pemilihan presiden 2019, yang sebelumnya adalah seorang komedian.
Pada masa kampanyenya, Zelensky berkampanye untuk membuka pembicaraan damai untuk mengakhiri konflik. "Rusia juga mungkin berpikir bisa mendapatkan sesuatu darinya: Ia melihat Zelensky, seorang politkus pemula, sebagai seorang yang mungkin lebih terbuka terhadap perspektif Rusia," tulis Kriby dan Guyer.
Rusia menginginkan Zelensky untuk menepati pernjanjian Minsk 2014 dan 2015, yang isinya akan mengembalikan wilayah pro-Rusia kembali ke Ukraina. Para pengamat politik menilai perjanjian ini adalah "kuda Troya" Moskow untuk memegang kembali Ukraina.