Punya Masalah Sejak Lama, Kenapa Rusia Bergerak ke Ukraina Sekarang?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 24 Februari 2022 | 16:00 WIB
Tentara Rusia berbaris di Lapangan Merah Moskow, Rusia. (Mladen Antonov/AFP)

Nationalgeographic.co.id—Ancaman invasi Rusia ke Ukraina masih terus bergulir hingga saat ini. Berbagai berita terus memperbarui kabar ini, dan berbagai asumsi bermunculan seperti tanda awal Perang Dunia III atau dampak embargo yang meluas akibat saling ancam.

Sebelumnya, dipaparkan bagaimana Rusia dan Ukraina memiliki akar sejarah yang sama sebelum invasi Mongol. Tetapi berikutnya, Ukraina tidak pernah bisa berdiri di atas kaki sendiri karena berbagai macam penguasaan masuk silih berganti berabad-abad lamanya.

Hal itu pun berlanjut pada penguasaan komunis yang menjatuhkan monarki Kekaisaran Rusia pada 1917. Perubahan bentuk dari Kekaisaran Rusia menjadi Uni Soviet, membuat Ukraina sepenuhnya dikuasai pada 1922.

Ukraina mengalami banyak kengerian di masa Uni Soviet, seperti pemaksaan pertanian kolektif pada 1930-an oleh Joseph Stalin yang mengakibatkan kelaparan dan kematian jutaan orang Ukraina (peristiwa Holodomor). Kebijakan Stalin lainnya adalah mengisi pendudukan orang Rusia di sisi timur Ukraina yang kekurangan penduduk akibat peristiwa ini.

Dari sinilah, menurut para ahli, terciptanya garis patahan yang berlangsung lama, di mana sisi timur memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Rusia dan cenderung condong mendukung pemimpin yang pro-Rusia. Sebaliknya, di bagian barat karena mengalami pengaruh kekuatan Eropa, kelompok ini cenderung mendukung politisi yang pro-Barat.

Pada 1991, Uni Soviet bubar dan Ukraina merdeka dan pekerjaan rumah tangga yang baru berdiri bukanlah perkara mudah untuk menyatukan sisi timur dan barat. Kondisi mereka sangat kacau ketika harus berpindah untuk mencapai demokrasi, dan terkadang bagi sebagian orang, terutama di timur, mendambakan stabilitas yang ada pada era Soviet.

"Kesenjangan terbesar setelah semua faktor ini adalah antara mereka yang memandang kekaisaran Rusia dan pemerintahan Soviet dengan lebih simpatik versus mereka yang melihatnya sebagai tragedi," ujar Adrian Karatnycky, mantan anggota Atlantic Council of the United States pada National Geographic. Dukungan ini sangat mencolok pada Pilpres Ukraina tahun 2004 dan 2010 antara kandidat yang pro-Barat dan pro-Rusia.

Lompat ke tahun 2014, Rusia menganeksasi Krimea dan munculnya gerakan separatis di Ukraina timur dengan mendeklarasikan Republik Rakyat Luhansk dan Donetsk yang juga didukung Rusia. Tak lama, tumbuh demonstrasi di Ukraina untuk menggulingkan presiden Viktor Yanukovych yang dianggap pro-Rusia telah mengabaikan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa, dan AS mendekat kepada para demonstran.

Tentara Ukraina sedang latihan militer di Zhytomyr pada 21 November 2018. (Sergei Supinsky/AFP)

Koresponden Vox Jen Kirby dan Jonathan Guyer menulis, apa yang terjadi hari ini sebenarnya adalah kelanjutan apa yang terjadi pada 2014. Hal yang membuat Presiden Vladimir Putin bertindak adalah kemenangan Volodymyr Zelensky di pemilihan presiden 2019, yang sebelumnya adalah seorang komedian.

Pada masa kampanyenya, Zelensky berkampanye untuk membuka pembicaraan damai untuk mengakhiri konflik. "Rusia juga mungkin berpikir bisa mendapatkan sesuatu darinya: Ia melihat Zelensky, seorang politkus pemula, sebagai seorang yang mungkin lebih terbuka terhadap perspektif Rusia," tulis Kriby dan Guyer.

Rusia menginginkan Zelensky untuk menepati pernjanjian Minsk 2014 dan 2015, yang isinya akan mengembalikan wilayah pro-Rusia kembali ke Ukraina. Para pengamat politik menilai perjanjian ini adalah "kuda Troya" Moskow untuk memegang kembali Ukraina.

Mengutip PBS, Ukraina pada Juni 2021 menginginkan bergabung dengan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara), organisasi militer yang salah satu anggotanya Amerika Serikat. Putin pun langsung bergerak mengancam Barat dengan mengumpulkan pasukan dan peralatan di dekat perbatasan Ukraina sejak September 2021, dan beberapa kali ada pernyataan penarikan. 

Para pengamat, tulis Kriby dan Guyer, memandang perspektif Putin bergeser tentang AS. Dia melihat tanda-tanda kelemahan AS ketika penarikan militer yang kacau di Afganistan dan gejolak dalam negeri AS. Biden juga masih berusaha untuk mengembalikan aliansi transatlantiknya yang sempat memudar karena pemerintahan Trump.

Baca Juga: Gejalanya Sama dengan COVID-19, Apakah Flu Rusia dari Virus yang Sama?

Baca Juga: Tersingkap Kuburan Massal Diduga Korban Teror Besar-besaran Era Stalin

Baca Juga: Mengurai Benang Kusut di Balik Perselisihan Rusia dan Ukraina

Baca Juga: Batalyon Azov: Dari Suporter Sepak Bola Menjadi Tentara Kejam Ukraina

"Perpecahan itu—yang Washington sedang berusaha keras untuk menahannya—mungkin membuat Putin berani," tulis Kirby dan Guyer.

"Opini publik di Ukraina juga sangat terpengaruh untuk mendukung bisa masuk ke lembaga-lembaga Barat seperti Uni Eropa dan NATO. Itu mungkin membuat Rusia merasa seolah-olah telah menghabiskan semua alat politik dan diplomatiknya untuk membawa Ukraina kembali ke tempat semula."

Sementara Uni Eropa dan Inggris masih sibuk perkara Brexit dan perjuangan melawan pagebluk COVID-19, dan Jerman yang baru-baru ini berganti kanselir setelah dijabat oleh Angela Markel 16 tahun lamanya. Banyak negara-negara Eropa juga mengimpor gas alam Rusia yang kini harganya melonjak.

"Elit keamanan Moskow merasa bahwa mereka harus bertindak sekarang karena jika tidak, kerjasama militer antara NATO dan Ukraina akan menjadi lebih intens dan bahkan lebih canggih," ujar Sarah Pagung, dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman dikutip dari Vox.

Lantas, bagaimana kisah selanjutnya dari masalah politik ini? Waktu dan politikus dari kedua kekuatan itulah yang punya jawabannya.