Kini, Nizhniy Tagil memiliki wali kota baru, yang ditugasi Putin untuk mempercantik kota. Tetapi, kehidupan di situ masih tetap sulit. Sasha pernah mengikuti kursus mengelas dan bekerja di sebuah pabrik dengan penghasilan bagus sampai merosotnya harga minyak dan dijatuhkannya sanksi oleh negara-negara Barat karena Rusia menginvasi Ukraina; kedua hal itu menenggelamkan ekonomi Rusia. Sasha tidak lagi mendapatkan gaji. Selama satu tahun dia mencari pekerjaan dan akhirnya berhasil bekerja di pabrik Boeing yang jaraknya dua jam perjalanan dari rumahnya. Sekarang gajinya 30.000 rubel, atau sekitar 450 dolar per bulan—kira-kira sama dengan gaji rata-rata di situ.
Kota yang diceritakannya adalah tempat yang sangat bengis. “Penduduk kota sangat galak terhadap orang lain yang tidak seperti mereka,” katanya. Semua berpenampilan sama seperti kelas pekerja: berpakaian celana dan baju olahraga yang longgar, rambut cepak berponi tipis. Teman-temannya, kata Sasha, biasanya anak-anak mantan narapidana. “Mereka tidak menghormati hukum,” ujar Sasha. Dia belajar berkelahi, menggunakan tinju, dan pisau. Dia pernah pulang ke rumah setelah berkelahi dengan bersimbah darah lawannya, dan dia menceritakan semua ini, anehnya, dengan riang.
Hal yang benar-benar diinginkan Sasha adalah pindah ke kota kosmopolitan St. Petersburg dan membuka bar. Namun, pacarnya tidak mau ikut pindah kalau dia belum memiliki apartemen. Dengan gajinya dan gaji pacarnya yang tidak seberapa, impiannya akan tetap jadi impian belaka.
Sudah sangat lazim di Nizhniy Tagil: anak muda yang memimpikan impian anak muda, tidak bisa mewujudkannya dalam dunia nyata Rusia yang dipimpin Putin. Jadi, mereka mempersempit impian, dengan menginginkan hal-hal yang lebih terjangkau. Mereka ingin punya rumah atau apartemen, mobil, dan berkeluarga. Semua yang mereka dambakan itu juga sama dengan segala sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan dari mereka, semata-mata karena keluarga mereka mengalami dekade Sembilan Puluhan.
“Dekade Sembilan Puluhan sangat berat bagi kami dari segi keuangan,” kata Alexander Kuznetsov, pemuda usia 20 tahun dari Nizhniy Tagil. “Pada 1998, ayah saya meninggalkan keluarga.” Usia Alexander saat itu baru tiga tahun. “Seluruh gaji ibu saya hanya cukup untuk memberi saya makan. Bagi saya, yang paling penting adalah keluarga,” katanya. “Saya tidak menginginkan kedudukan tinggi dalam pekerjaan, tetapi lebih mendambakan memiliki keluarga yang hangat.”
Ayahnya terlibat dalam perang Chechnya pertama, pada 1994. “Jangan mau jadi tentara, Nak,” katanya menasihati Alexander. Namun, Alexander tidak berusaha menghindari wajib militer. “Sudah lama saya ingin menjadi tentara,” katanya menjelaskan. “Semua anggota keluarga saya jadi tentara. Lagi pula, jika kita pernah bertugas sebagai tentara, peluangnya lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan bagi pemuda di Rusia: bekerja di kepolisian atau di bidang keamanan negara (FSB), organisasi penerus KGB. Dinas ketentaraan memberinya peluang untuk menjadi polisi seperti ayahnya. “Saya benar-benar ingin punya penghasilan yang stabil,” kata Alexander.
Saat saya mengobrol dengan Alexander, temannya, Stepan, ikut bergabung. “Jadi,” katanya, “Anda sedang menulis artikel tentang kehidupan masa lalu di Uni Soviet? Kehidupan jauh lebih baik di masa itu.”
“Apa?” seru Alexander. “Hidup lebih baik?! Sama sekali tidak benar!”
Keduanya berdebat tentang kehidupan di masa Uni Soviet, sampai Stepan, yang lahir pada 1992, menyadari bahwa ada yang ingin ditanyakannya kepada saya: Kalian orang Amerika menyulitkan kami dengan menjatuhkan sanksi,” katanya. “Apa rencana kalian untuk kami? Perang?” Dia berpendapat bahwa Rusia sudah mengambil keputusan yang tepat untuk menduduki Crimea dan gigih menentang Dunia Barat.
Stepan enggan memberitahukan nama belakangnya sebab saya wartawan Amerika. Namun, saat saya berpamitan, dia menawarkan tumpangan. “Terus terang, saya ingin keluar dari sini,” katanya.