Generasi Putin, Bagaimana Remaja Rusia Memandang Presiden Mereka?

By National Geographic Indonesia, Selasa, 1 Maret 2022 | 12:00 WIB
Kirill Vselensky bergaya di sebuah dinding berhias di Moskow ketika Dima Balashov memotretnya. Pemuda berusia 24 tahun itu, pengambil risiko yang dikenal sebagai petualang atap gedung tinggi, merayakan prestasi mereka di Instagram: @kirbase dan @balashovenator. (Gerd Ludwig/National Geographic)

Liza lahir di Blagoveshchensk, di Timur Jauh Rusia, pada 1992. Setahun sebelumnya, ayahnya, seorang guru sejarah, bergabung dengan kerumunan orang di jalanan Moskow, menyambut gembira kedatangan demokrasi. Namun, saat pulang ke rumah setelah kejatuhan Uni Soviet, dia terpaksa mencari cara untuk menafkahi keluarga. Dia pergi ke Tiongkok dan membawa pulang segala macam barang untuk dijual kembali di Rusia.

Liza bekerja sebagai ahli hukum perusahaan di sebuah firma hukum yang besar dari negara Barat. Pekerjaan yang bagus, tetapi bukan yang diinginkannya. “Selama ini saya ingin menjadi wartawan; saya suka menulis,” katanya. “Tetapi, orang tua saya mengatakan bahwa jurnalisme bukan pekerjaan serius. Jurnalisme itu profesi yang sarat suap-menyuap,”—sejarah tahun 1990-an, saat jurnalisme di sini diperjual-belikan seperti komoditas. Orang tuanya kemudian berpisah. Usaha ayahnya akhirnya tumbuh berkembang, dan Liza mendapat kesempatan sekolah setahun di SMA di Oregon, dan juga belajar di London.

Dengan sekitar tujuh juta pengikut Instagram, aktris TV Nastasya Samburskaya (@samburskaya) (29) adalah salah satu bintang media sosial Rusia paling top. Seperti pada umumnya penduduk Moskow, dia tinggal di apartemen kecil. Tak berbeda dengan anak muda di banyak negara, anak muda Rusia jarang berpisah dengan ponselnya. (Gerd Ludwig/National Geographic)

Sebagai wanita yang dipengaruhi dunia Barat modern, Liza suka bercerita pada ibunya tentang pacar-pacarnya dan pesta narkoba. Namun, dalam beberapa hal, Liza amat sangat Rusia. “Putin membuat saya kesal,” katanya, terdengar seperti banyak orang di kalangan kaum berpendidikan yang tidak menyetujui pemerintahan Moskow. “Tetapi, awas saja kalau ada orang asing yang berani mengecamnya! Saya akan selalu membela Rusia.”

Pada 2011 Liza mulai tertarik pada politik liberal, yang sangat populer di Moskow. Dia bergabung dengan Amnesty International dan partai Yabloko liberal sebagai pengamat untuk pemilihan parlemen pada bulan Desember. Dia bertugas di TPS di sekolah adiknya dan terkejut ketika melihat para guru memasukkan banyak sekali kartu suara ke kotak suara. Ketika Liza berusaha menegur, mereka membentaknya dan menyuruhnya duduk di sudut ruangan sementara kepala sekolah menghalangi pandangannya. Ini terjadi di seluruh negeri. Banyak pengamat pemilu memotret kejadian itu dengan ponsel dan menayangkan bukti tersebut secara online, yang memicu gerakan protes massal di Moskow dan kota besar, yang sudah 20 tahun tidak pernah terjadi di Rusia.

Namun, Liza menjadi ketakutan dan kecil hati. “Saya histeris,” katanya. “Saya terus menangis selama dua jam.” Setelah kejadian itu, dia memutuskan, “Tidak ingin berpolitik lagi. Tidak akan pernah mau. Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan saya, dan saya tidak cukup kuat untuk melawannya.”

Para siswa beristirahat di madrasah Muhammadiyah di Kazan, kota di tepi Sungai Volga. Sekitar setengahnya berasal dari etnik Rusia dan setengahnya lagi etnik Tatar. Kebanyakan orang Tatar adalah Muslim; Islam, agama terbesar kedua di Rusia, dianut oleh sekitar tujuh persen populasi. (Gerd Ludwig/National Geographic)

bagaimana ia menjadi seperti ini, menolak untuk berurusan dengan dunia politik? Vladimir Putin berperan penting dalam jawaban atas pertanyaan itu. Putin mulai berkuasa pada tahun 2000 sebagai kandidat anti dekade Sembilan Puluhan pada saat generasi ini mulai menyadari dunia di sekitar mereka. Putin berjanji menghadirkan kemakmuran dan keamanan. Berkat harga minyak yang meroket dan reformasi ekonomi yang diterapkan pada dekade Sembilan Puluhan, Putin mampu memenuhi banyak janji itu, tetapi dengan mengorbankan kebebasan demokratis.

Putin merujuk disintegrasi Uni Soviet sebagai “bencana geopolitik terbesar” abad ke-20. Siapa pun yang tidak merasa begitu, katanya, artinya tidak punya hati.” Joseph Stalin menjadi, menurut istilah kalangan bisnis saat itu, seorang ”manajer efektif“ yang kebablasan. Buku ajar dan acara televisi mencerminkan nostalgia baru itu, yang diamini oleh negara. Dewasa ini, 58 persen rakyat Rusia masih ingin melihat kembalinya pemerintahan masa Soviet, dan sekitar 40 persen lebih mendukung Stalin.

Kehidupan pasca-Soviet pada umumnya merupakan upaya pencarian sia-sia untuk mendapatkan gagasan pemersatu. Pada awalnya, gagasan itu demokrasi; kemudian, konsumerisme menjadi pengganti  westernisasi. “Modernisasi datang melalui konsumsi, tetapi itu saja tidak cukup,” kata sosiolog Zorkaya.

Pada pesta SMA terpandang di Grand Hotel Emerald di St. Petersburg, siswa mengambil minuman koktail. Berakhirnya komunisme mendatangkan kemiskinan juga kekayaan di Rusia dan menciptakan kelas menengah. Bagi kaum muda yang mengalami masa 1990-an, keamanan ekonomi tetap merupakan dambaan nomor satu. (Gerd Ludwig/National Geographic)

Sejak awal masa jabatan ketiganya sebagai presiden, pada 2012, Putin mempromosikan ideologi neo-Soviet yang bahkan lebih agresif, baik di dalam maupun luar negeri. Dia berjuang untuk mempertahankan negara-negara republik Soviet masa lalu, seperti Ukraina dan Kazakhstan, dalam lingkaran pengaruh Moskow dan menjajaki kekuatan militer Rusia di Suriah. Serangkaian hukum mempromosikan nilai-nilai sosial tradisional sehingga perbedaan pendapat bahkan menjadi semakin berbahaya. Salah satu hasilnya adalah generasi yang impiannya adalah perwujudan dari segala sesuatu yang diinginkan Putin dari mereka: kaum yang patuh, materialistis, dan sangat tidak ingin menghadapi risiko.