Tengkorak Zaman Batu Berusia 4.000 Tahun Dapatkan 'Muka' Baru

By Sysilia Tanhati, Kamis, 3 Maret 2022 | 13:00 WIB
Berkat teknologi, seorang arkeolog dan senimal 3D berhasil menghidupkan kembali tengkorak wanita Zaman Batu yang berusia 4.000 tahun. Dalam rekonstruksi, Nilsson tahu pekerjaannya dilakukan dengan baik ketika seorang pengunjung museum bersandar ke wajah untuk memeriksa detailnya. (Oscar Nilsson)

Baca Juga: Manusia Purba Keluar dari Afrika Lebih dari Satu Gelombang Migrasi

Baca Juga: Permen Karet 5.700 Tahun Ungkap Riwayat Kehidupan Zaman Batu

Baca Juga: Artefak Megalitik Ditemukan di Maluku Utara, Terkait Pemujaan Leluhur

Wanita itu tingginya sekitar 150 cm, yang menurut para arkeolog museum "pendek bahkan untuk zamannya." Dengan gigi menonjol, hidung bengkok dan mata yang rendah, tulang rahang bawahnya digambarkan sebagai "cukup maskulin."

Sementara wanita dari Lagmansören terpelihara dengan baik, tidak ada DNA yang bisa digunakan yang diambil. “Ini berarti warna kulit dan rambut wanita tidak dapat ditentukan secara kimiawi," ungkap Nilsson.

Namun, ia menganalisis pola migrasi bersejarah dan menemukan bahwa wanita itu mungkin berkulit terang dengan rambut gelap.

Membuat emosi yang tidak dapat diciptakan oleh teknologi.

Printer 3D ahli dalam membuat tengkorak berdasarkan pemindaian. Namun ada satu kekurangan, teknologi ini tidak dapat membuat ekspresi manusia. Kulit, otot, dan tulang rawan sudah lama hilang dalam kasus ini. Sehingga arkeolog harus meninggalkan sains dan menyelami emosinya sendiri. Melalui cara ini, Nilsson dapat lebih memahami orang-orang yang akan diciptakannya kembali.

Para seniman menjelaskan bahwa menciptakan kembali perasaan yang kuat seperti kemarahan, misalnya, "dilarang keras" dalam rekonstruksi wajah. Maka Nilsson berfokus pada menyatukan emosi untuk memberikan kesan bahwa wajah itu bergerak. Menurut seniman itu, "Inilah yang membuatnya tampak hidup."

Dalam contoh wanita Lagmansören, Nilsson mengatakan wanita itu "tidak terancam", dia merasa aman di rumah saat dia melihat anaknya.

Dalam rekonstruksi, Nilsson tahu pekerjaannya dilakukan dengan baik ketika seorang pengunjung museum bersandar ke wajah untuk memeriksa detailnya. Kemudian pengunjung melompat mundur, tidak nyaman dengan kedekatannya.

Ini sering terjadi ketika dua pasang mata—hidup dan direkonstruksi—berjarak sekitar 60 cm. "Itu menunjukkan tabrakan di otak," katanya. "Bagian logis dari otak memberi tahu Anda bahwa ini palsu. Namun pengalaman emosionalnya adalah bahwa seseorang benar-benar ada di sana."