Kutang Suroso, Kutang Khas Indonesia yang Tak Lekang Melintas Zaman

By Mahandis Yoanata Thamrin,Galih Pranata, Kamis, 3 Maret 2022 | 12:00 WIB
Denise Azam berperan sebagai perempuan Jawa bernama Gita dalam film De Oost. Dalam adegan ini, Denise mengenakan busana kutang dan kain, pemandangan umum tentang sosok perempuan Jawa pada awal abad ke-20. Kelak kutang semacam ini populer pada 1960-an dengan jenama 'Suroso'. (DE OOST)

Nationalgeographic.co.id—Kutang adalah pakaian dalam perempuan untuk menutupi payudara. Bagiannya terdiri atas kain berbentuk mangkuk, tali bahu, ban berkerut untuk menyangga dada. kata "kutang" mungkin sudah jarang dijumpai dalam pergaulan. Kini, orang-orang lebih lazim menyebutnya dengan bra.

Sejatinya penggunaan kutang masih tabu di kawasan Nusantara sebelum abad ke-20. Sekitar 1920, barulah perempuan-perempuan Eropa mulai memperkenalkan buste-houder (penyangga payudara), yang kemudian akrab dengan sebutan BH. Busana inilah yang memengaruhi mode bagi perempuan pribumi.

"Hingga awal abad ke-19 di daerah Jawa masih banyak penduduk wanita yang bertelanjang dada. Mereka hanya memakai penutup di bagian bawah," tulis Nurlatifah Syari.

Dia menulis dalam tugas akhirnya untuk Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Boga dan Busana, Universitas Negeri Yogyakarta, dengan judul Kostum Tari Indhel dengan Sumber Ide Kutang Suroso. Penelitian ini diselesaikan pada 2011.

Remy Silado, sastrawan Indonesia, berkisah dalam novel fiksinya bertajuk Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil, yang diterbitkan Penerbit Tiga Serangkai, 2007. Bermula dari adegan pembangunan proyek jalan yang menghubungkan kota-kota di Jawa atas prakarsa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan itu melibatkan seorang pembantu setia Daendels berkebangsaan Prancis-Spanyol, bernama Don Lopez comte de Paris—tokoh fiksi juga.

Remy berkisah, seringkali ada kejadian yang tak menyenangkan selama proyek. Kebanyakan petugas lapangan berbuat nakal tatkala melihat para pekerja wanita bumiputera tak mengenakan pelindung payudara.

"Coutant! (penutup payudara)," ujar Don Lopez berbicara dengan bahasa Prancis kepada para pekerja proyek wanita untuk menutupi bagian berharganya. Mereka mulai menyobek kain-kain putih untuk menutup bagian payudara yang kemudian dikenal sebagai 'kutang' sampai saat ini. Demikian Remy berkisah.

Namun, kita menjumpai kata "coutant" dalam kamus bahasa Prancis yang bermakna "kontan" alih-alih "kutang". 

   

Sejak kapan kita menggunakan kata kutang?

Kapan kata kutang dipakai di Indonesia, sejauh ini belum ada catatan yang menunjukkan waktu persisnya. Namun, kata "kutang" diyakini merupakan serpan dari bahasa Portugis "cotao" yang sejatinya merujuk kain halus yang dibuat dengan kapas atau linen. Rujukan ini bersumber dari Paramita R. Abdurachman dalam bukunya Bunga Angin Portugis di Nusantara, yang terbit atas dukungan Asosiasi Persahabatan dan Kerjasama Indonesia-Portugal. Buku ini diterbitkan LIPI PRESS dan Buku Obor pada 2008. Artinya kata ini sudah memperkaya bahasa Melayu sejak 500 tahun silam.

Kita barangkali tidak menyangka, begitu banyak pengaruh Portugis dalam budaya Nusantara. Kita dan Portugis lebih dekat dari yang kita kira. Sampai-sampai urusan pakaian dalam pun kita menyerap bahasa mereka.