Spartacus, Gladiator yang Pimpin Pemberontakan Budak Melawan Romawi

By Sysilia Tanhati, Jumat, 11 Maret 2022 | 12:00 WIB
Budak tidak memiliki hak dan diperlakukan semena-mena oleh majikan yang juga pemiliknya. Maka tidak heran jika akhirnya terjadi pemberontakan-pemberontakan budak. (Hermann Vogel/Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Institusi perbudakan adalah entitas yang merusak dalam sejarah Kekaisaran Romawi. Sebuah produk dari ekspansi militeristik teritorial negara, yang juga menopang ekonomi kekaisaran.

Meskipun ada yang bekerja sebagai pelayan, pengrajin, atau pekerjaan berharga lainnya, sebagian besar budak digunakan untuk pekerjaan kasar. Sebagai tenaga kerja yang relatif murah, budak bekerja di pertanian, pertambangan, dan konstruksi.

Perluasan negara Romawi selama periode Republik, terutama selama abad kedua SM, menyebabkan masuknya budak dalam jumlah besar.

Budak tidak memiliki hak dan diperlakukan semena-mena oleh majikan yang juga pemiliknya. Maka tidak heran jika akhirnya terjadi pemberontakan-pemberontakan budak. Yang paling terkenal adalah Perang Budak Ketiga, dipimpin oleh Spartacus. Ia adalah budak dan juga gladiator yang menentang kekuatan Roma.  

Siapakah Spartacus?

Spartacus kemungkinan besar adalah keturunan suku Trakia. Di zaman kuno, orang Trakia adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian besar Eropa timur dan tenggara. Karena ada di luar batas peradaban tradisional Yunani-Romawi, mereka dipandang secara negatif sebagai pejuang yang menakutkan dan barbar.

Kehidupan Spartacus sendiri kurang dikenal. Ini tidak mengherankan mengingat statusnya di dunia Romawi sebagai budak. Namun, sumber yang menceritakan peristiwa Perang Budak Ketiga memang memberikan beberapa informasi, meskipun sering bertentangan. Misalnya, Plutarch menggambarkan Spartacus sebagai keturunan Trakia dan keturunan Nomadik

Sejarawan Florus mengeklaim Spartacus adalah mantan tentara Romawi yang menjadi budak.

Kehidupan gladiator

Gladiator adalah penghibur besar Kekaisaran Romawi. Mereka berjuang dan mati untuk sanjungan orang banyak. Dimulai dari zaman Republik sampai pertunjukan ini dilarang di kerajaan Kristen abad ke-5.

Meskipun asal-usulnya masih diperdebatkan, amfiteater di seluruh wilayah kekaisaran tetap menjadi saksi popularitas kontes gladiator di seluruh Romawi. Amfiteater terbesar adalah Flavian Amphitheatre — lebih dikenal sebagai Colosseum — dibangun di Roma oleh Kaisar Vespasianus.

Terlepas dari popularitas pertunjukan ini, para gladiator sendiri sering kali berasal dari tatanan sosial terendah. Tidak jarang mereka adalah budak atau penjahat yang dihukum mati,” tutur Kieren Johns dilansir dari laman The Collector.