Pameran Jayapatra, Lembar Kemenangan dari Yogyakarta untuk Indonesia

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 10 Maret 2022 | 07:00 WIB
Serat Tajusalatin yang ditulis pada masa Sultan Hamengku Buwana V. Karya sastra berupa tembang Jawa yang memaparkan tata cara seorang pemimpin atau raja. Pameran Jayapatra menampilkan koleksi Serat Tajusalatin di Bangsal Pagelaran, Keraton Yogyakarta. (Fajar Wijanarko/Keraton Yogyakarta)

Dia mengungkapkan bahwa hampir semua koleksi ini merupakan koleksi agung milik Keraton Yogyakarta. Namun, dia menambahkan, terdapat dua koleksi yang begitu menarik keingintahuan kita.

Pertama, koleksi tiga manuskrip yang ditulis pada periode Sultan Hamengku Buwana V. Menariknya, isi manuskrip itu telah diajarkan juga ke Sultan Kelima oleh Dipanagara sebagai pendidikan tatanegara untuk para raja pada saat itu. "Manuskrip itu berjudul Serat Makutharaja, Serat Cebolek, dan Serat Tajusalatin," ujarnya.

Kedua, koleksi koin gulden yang menjadi kelengkapan narasi bagaimana Yogyakarta sebagai ibu kota Republik, mendukung dan menjadi tulang punggung dari operasional pemerintahan pada awal kemerdekaan. "Nah, koin gulden ini otentik ditemukan di Keraton sebagai peninggalan pemerintahan Hindia Belanda."

Pameran ini digagas oleh Sultan Kesepuluh, kemudian disiapkan oleh divisi keraton yang berwenang atas museum dan kearsipan, Kawedanan Hageng Punakawan Nityabudaya.

   

Baca Juga: Kesenian Ketoprak: Dari Surakarta ke Yogyakarta untuk Semua Warga

Baca Juga: Ong Kho Sioe: Rumah Candu dan Sejarah Becak Pertama di Yogyakarta

   

Gusti Kanjeng Ratu Bendara, putri bungsu Sultan Kesepuluh sekaligus Penghageng Nityabudaya, mengungkapkan angannya dalam rilis pembukaan pameran.

"Harapannya pameran ini hadir sebagai upaya keraton dalam mengilhami generasi muda," ujarnya, "agar ‘melek sejarah’ tentang Yogyakarta dan perannya atas kelahiran Republik.”

Yogyakarta telah melahirkan ragam imaji bagi para pendatangnya dari masa ke masa. Kota ini penuh dinamika, namun seorang warga Inggris berupaya merekamnya dengan kata-kata saat bertugas sebagai staf pengajar di Universitas Gadjah Mada sekitar 1970-an.

"Ada satu kota di Indonesia yang telah berhasil mempertahankan pesona dan daya tariknya, dan relatif tidak tersentuh oleh dunia modern, dan itulah Yogyakarta," catat Michael Smithies (1932-2019). "Hidup yang tidak terburu-buru, orang-orang tetap sopan meski masyarakat semakin tertekan, dan dengan bangga mempertahankan tradisinya yang masih menjiwai kehidupan kota." 

Smithies menampilkan impresi Yogyakarta pada empat dekade silam. Bagaimana Yogyakarta hari ini menurut Anda?