Nationalgeographic.co.id—Kolonialisme Eropa ke tanah Asia adalah ekspedisi panjang bagi mereka. Sebuah upaya membuka tabir dunia yang sebelumnya tidak diketahui. Bagi mereka, memahami segala jenis tanaman, terutama yang berguna untuk obat-obatan, adalah hal yang penting. Sebab, pemahaman ini dapat membantu mereka untuk menjamin kesehatan di tanah seberang. Mereka pun menggunakan obat lokal selagi tidak ada bahan obat-obatan Eropa.
Tak terkecuali di Nusantara. Martina Safitry mengatakan, ketika Belanda dan Inggris tiba untuk menancapkan kolonialismenya, pemahaman mereka tentang pengobatan lokal makin mendalam. Bahkan, mereka juga mengandalkan tenaga medis tradisional yang kini dianggap klenik dan tak teruji secara sains: dukun.
Martina adalah sejarawan dari UIN Raden Mas Said di Surakarta. Pemahaman tentang dukun dikerjakannya sebagai tesisnya, dan sebagian dari pembahasanya dijadikan tulisan pada buku Urip Iku Urub, Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey.
Setiap bulan Penerbit Buku Kompas menggelar bincang daring untuk membahas buku ini. Acara ini didukung Karavan Cendekia, Diskusi Soedjatmoko, Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Timur.
“Kekuatan gaib dan sihir itu sudah dijadikan referensi oleh medis di masa primitif,” katanya dalam bincang bulanan daring pembahasan buku tersebut, Sabtu, 12 Maret 2022.
Dia melihat bagaimana dunia medis dan hal gaib terpisahkan di Indonesia saat ini. Padahal, dokter dari dunia Barat sebenarnya mencari tahu bagaimana pengobatan sebenarnya memiliki aspek spiritual, gaib, dan sihir, sebagai referensi medis masa kini, terangnya.
Martina menjelaskan, secara etimologi dukun berakar dari bahasa Persia yang disebut dehqhan atau dehqn yang berarti, orang desa yang memiliki tanah, memiliki pengetahuan, kecerdasan, dan keahlian khusus.
“Jadi dengan melihat adanya pemisahan itu saya jadi gelisah. Sebetulnya, zaman dulu itu seperti apa [memahami dukun]?”. Dia menjelaskan, pengobatan tradisional di negeri lain seperti Tiongkok dan India begitu berjaya hingga sekarang, dan medis seperti ini juga tidak terlepas dari pemahaman atau keahlian spiritual seperti dukun di Indonesia.
“Di dunia [budaya] Jawa, dukun itu bukan saja agen pengobatan tapi dia sebetulnya adalah agen untuk semua persoalan hidup bagi orang Jawa, lalu dikatikan dengan ranah medis dan spiritual, kalau kita lihat prakteknya belakangan ini.” Hal itu tampak pada Pangeran Dipanagara yang memiliki kepercayaan pada dukun sebagai pengobatannya, meski di sisi lain ia juga menentang praktik dukun.
Tidak semua dukun berhubungan dengan hal mantra seperti pembacaan weton dan mantra, Martina mengklasifikasi dalam tiga jenis dukun yang ada di masyarakat Nusantara. Pertama, dukun kaum priyayi yang cenderung menerapkan berbagai ritual seperti puasa panjang dan meditasi, dan mengklaim kekuatannya bersikap spiritual.
Berikutnya, dukun kaum santri yang biasanya menggunakan ayat-ayat suci dan menuliskannya di kertas. “Dukun kaum santri dan pengobatan dilakukan berdasarkan pengetahuan medis ilmiah yang sebenarnya telah ditemukan jauh sebelum orang Barat menemukannya,” ungkap Martina.
Terakhir adalah dukun abangan. Dukun jenis ini biasanya cenderung menekankan teknik yang rinci seperti jimat, mantra, ramuan herbal dan sejenisnya.