Dukun: Pentolan Medis yang Kini Dianggap Sekadar Praktik Klenik

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 16 Maret 2022 | 09:00 WIB
Seorang dukun di wilayah Jawa, tengah meracik obat-obatan, diperkirakan tahun 1910-1940. (Wikimedia Commons)

Dukun sebelum awal abad ke-20 ada profesi yang dicari untuk pengobatan, termasuk oleh orang Eropa sendiri ketika berkoloni di Nusantara, ungkap Martina. Profesi ini dinilai sebagai saingannya dokter karena harganya lebih terjangkau dan keberadaannya yang banyak membuatnya lebih dekat disambangi.

Belum lagi, saat awal-awal kedokteran Barat berkembang dan maju, keberadaannya masih terbatas di Nusantara. Kebanyakan dari dokter yang dikirimkan “adalah bukan dokter yang profesional,” terang Martina. “Mereka hanya guru bedah. Misalnya, untuk prajurit-prajurit perang yang datang ke Hindia Belanda. Kemudian baru ada perhatian terhadap pengobatan Barat ketika memasuki awal abad ke-20.”

Pengetahuan tentang dukun bagi kalangan Eropa, dibawakan oleh kalangan Indo yang biasanya lebih sering menjumpai kalangan pribumi. Berbagai tokoh seperti Jans Kloppernburg-Vesteeght, juga menuliskan pengetahuan ramuan dan pengobatan tradisional.

Selain oleh kalangan Indo, Martina menejaskan, pengobatan tradisional yang dilakukan dukun sebenarnya sudah dituliskan dalam berbagai naskah atau babad, seperti Serat Centini, Serat Primbon Jampi Jawi, dan Serat Tata Cara. Tetapi, secara tradisionalnya, pemahaman dukun diajarkan secara langsung tanpa tekstual.

“Jadi ketika ingin menjadi seorang dukun—dukun muda ingin menjadi seorang dukun yang profesional, ia harus melakukan ‘magang’ beberapa tahun di rumah salah satu senior,” Martina menjelaskan. “Dan dia melakukan ngelmu atau niteni—mempelajari semua hal yang dilakukan oleh dukun senior. Selanjutnya dia akan mempelajari dan ada waktu harus dites oleh dukun senior untuk diketahui apakah dukun muda ini layak menjadi seorang dukun yang profesional.”

Menggeser dukun

Awalnya, penjelasan tenang dukun pada masa kolonial Belanda pun mendapatkan posisi di bidang medis. Misalnya, dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, menguraikan bahwa dukun didominasi oleh perempuan. Dukun disebutkan biasanya terlibat dalam setiap kelahiran bayi, menggunakan kekuatan dan jimat untuk menangkal atau menangkap pencuri, melakukan pijat, membuat ramuan obat, mengobati tulang yang retak, patah, turun dan bengkok, dan menjadi pemimpin upacara bersih desa.

Antropolog Belanda Leendert Theodorus Maijer ketika tiba di Hindia pada awal abad ke-20 juga mengamati profesi ini. Dia menjelaskan bahwa “dukun memiliki pengetahuan anatomi tubuh manusia dan fungsi organnya, mendiagnosis penyakit serta menanganinya.”

Sebuah klinik pengobatan tradisi Cina di Jakarta pada 1949. Sang tabib yang bernama 'Pah Wongso', tampak berada di depan tempat praktiknya. (Charles Breyer/Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV))

Pada kamus sastra Jawa tahun 1939, dukun pun mulai mendapatkan defsinisi unsur spiritual dan magisnya seperti meramal, walau sisi utamanya masih berkemampuan medis. “Profesinya ditulis dalam Kamus Bahasa Jawa adalah dukun bayi dan dkukun urut, yang saya lihat seperti itu.”

Definisi dukun kemudian bergeser lagi pada masa kemerdekaan. Martina melihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia pada 1988 mendefinisikan profesinya bergeser jauh dari apa yang diungkapkan pada masa sebelumnnya.

“Di dalam KBBI, dukun diartikan sebagai orang yang mengobati, memberi jampi. Dan profesi dukun itu mulai beragam dan didominasi oleh hal-hal yang magism” Martina menjelaskan.