“Dukun beranak bisa dianggap medis. Kemudian ada dukun calak, dukun jampi, dukun japa, dukun klenik, dukun santet, dukun siwer, dukun susuk, dukun tenung, dan dukun tiban. Itu dukun yang ranahnya supranatural. Itu dari terminologi, pengertian dari kata dukun di dalam beberapa kamus.”
Baca Juga: Dukun dan Klenik dalam Kehidupan Modern Masyarakat di Indonesia
Baca Juga: Arkeolog Singkap Ritual Pemakaman Nenek Sihir dan Bekal Kuburnya
Baca Juga: Riwayat Kiprah Tabib Cina di Nusantara
Peter Boomgard, antropolog dan sejarawan Asia Tenggara dari University of Leiden, dikutip dari penjelasan Martina, “pemisahan yang tajam antara pengobatan Barat dan lokal dimulai pada 1900, ketika fasilitas dan personel kesehatan pribumi meningkat.”
Sebetulnya, Martina menjelaskan, sudah ada gagasan untuk mendirikan sekolah dokter Jawa dan kebidanan pada 1851, tetapi profesi mereka masih terbatas pada juru suntik atau mantri cacar.
“Juga ada kekhawatiran kalau diberikan kurikulum lebih banyak kedokteran, lebih banyak mereka akan menyaingi dokter Eropa,” ia memaparkan.
Namun, semua berubah ketika tenaga medis Eropa mendesak untuk mengangkat pribumi bisa diajak bekerjasama ketika wabah penyakit. Selain itu pengusaha perkebunan juga gelisah karena pekerjanya banyak yang sakit, sehingga membutuhkan tenaga medis ekstra. Akibatnya, pendirian sekolah medis pun berkembang dan menaikan kurikulum dan memunculkan sekolah kedokteran tingkat atas pertama seperti STOVIA dan Eijkman Instituut.
“Dari lulusan-lulusan sekolah dokter, bidan, mantri, dan sekolah-sekolah lain, muncul elit kesehatan baru dalam struktur masyarakat yang kian menggantikan posisi dukun yang ada di masyarakat Jawa, terutama dari munculnya elit pengobatan baru,” lanjut Martina.
Hal-hal saintifik membuat pengobatan tradisional yang dilakukan dukun tergerus, dan ditambah karya-karya sastra pada masa itu yang menggambarkan mereka sebagai kalangan terbelakang dan teknik medis yang kurang bersih.
Meski demikian, dukun tidak dilupakan begitu saja oleh pemerintah Hindia Belanda dan Indonesia. Martina menjelaskan, 28 September 1930 pemerintah menginiasiasi Koempoelan 76 yang berisi dukun bayi di Malang. Hal ini dilakukan sebagai praktek pelatihan yang dilakukan oleh dokter agar dukun bisa melakukan persalinan dengan cara yang hieginis dan menggandeng profesi mereka.
Pada masa Indonesia merdeka, ada inisiasi menggandeng dukun dengan berbagai bidang, terutama persalinan. Martina mengungkapkan, pada 1970 dukun persalinan mendapat pelatihan yang diintensifkan melalui Puskesmas dan Balai Kesejahteraan Ibu. Usaha pelatihan yang lebih higenis pun berlanjut pada 1990-an karena masih besarnya masyarakat yang tergantung dengan dukun persalinan.
Martina masih menunggu bagaimana nasib profesi dukun di Indonesia. Menurutnya, pengobatan lokal yang ada di Cina dan India pun sudah diakui secara nasional. Tenaga pengobatannya pun menjadi pelaku profesional. "Bagaimana dengan dukun di Indonesia?" ujarnya. "Nah, itu perlu kita diskusikan lagi."