Praktik Mantra Masyarakat Adat Kampung Naga dan Kanekes yang Lestari

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 19 Maret 2022 | 15:00 WIB
Kampung Naga di Tasikmalaya memiliki cara tradisional yang dipertahankan adat untuk mengelola pertanian dan memenuhi pangan. (Doni Purnama/Fotokita.net)

Hal inilah yang membedakan pada masyarakat adat Kampung Naga dan Kanekes dalam sektor pertaniannya dengan masyarakat luar. Naskah mantra itu menegaskan agar efektivitasnya pada ajaran Tuhan Yang Maha Kuasa, dan isi atau makna yang terkandung adalah tata cara untuk membudidayakan tanaman agar bisa melimpah.

Masyarakat adat Kanekes (Baduy) sedang 'ngaseuk', istilah untuk penanaman padi. Pemahaman pertanian berdasarkan naskah mantra yang dipegang teguh dan menjaga pesan leluhur untuk kualitas pertaniannya. (Bayu Dwi Mardana)

Kepercayaan pada Tuhan ini membuat proses bertani mereka terdapat semacam ritual, yang sebagian besar diadopsi dari agama Islam. Misal, dalam naskah itu tertulis untuk memulai pencangkulan di hari Jumat harus ngusap embun-embunan enam kali dengan arah pencangkulan sesuai mata angin tertentu di waktu Asar atau Subuh.

Implementasi adat Kampung Naga dan Kanekes dari naskah yang mereka pegang teguh juga terletak pada pengolahan lahan.

Salah contohnya adalah penerapan tatawayahtatalampah, dan tatawilayah untuk menentukan jenis tanaman apa pada waktu tertentu di lokasi pertanian. Perhitungan dilakukan dengan metode penanggalan yang diadopsi dari Arab, seperti MuharramSapar, dan Mulud, untuk bercocok tanam dan memanen.

Pemahaman ini membuat adanya perlakuan dan pengolahaan tanah pertanian yang berbeda, yang juga membuat hasil tani berbeda. Walau sebenarnya, ada faktor lain yang mendukung perbedaan hasil tani itu, seperti perbedaan jenis, kegemburan, dan keasaman tanah, serta sistem pengairan.

Baca Juga: Evolusi Perubahan Makanan Manusia Melahirkan Konsonan 'F' dan 'V'

Baca Juga: Dukun: Pentolan Medis yang Kini Dianggap Sekadar Praktik Klenik

"Pengetahuan perbintangan mereka dapatkan, dipelajari, dan mereka praktikkan secara turun-temurun dari para 'karuhun' (leluhur) terdahulu," tulis Elis dan rekan-rekan. "Hal ini dimungkinkan karena kehidupan masyarakat adat senantiasa menyatu dengan alam dan tradisi yang mengiringi kehidupannya."

Meski demikian, perkembangan jaman diperbolehkan masuk di masyarakat Kampung Naga, tetapi harus disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuan. Elis dan rekan-rekan menyarankan, "pemerintah tidak boleh memaksakan kehendaknya dalam upaya meningkatkan produksi pangan mereka." Traktor dan alat tenaga listrik tidak termasuk, karena ada kukuh yang dipakemkan oleh mereka.

Sampai saat ini, mereka lebih memilih alat cocok tanam tradisional yang jadi pakem dalam naskah mantra seperti yang disebut sebagai etemnyirujubleghalucecempehtolombong, dan jodang.