Praktik Mantra Masyarakat Adat Kampung Naga dan Kanekes yang Lestari

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 19 Maret 2022 | 15:00 WIB
Kampung Naga di Tasikmalaya memiliki cara tradisional yang dipertahankan adat untuk mengelola pertanian dan memenuhi pangan. (Doni Purnama/Fotokita.net)

Nationalgeographic.co.id - Karena modernisasi dan saintifikasi di masa kini, hal-hal yang berbau mantra dan kebijaksanaan leluhur dipandang sebelah mata. Praktik perdukunan bahkan dipandang sebagai unsur klenik yang tidak ilmiah, sehingga sukar dipercayai.

Padahal, di masa lalu mereka sangat penting karena menerapkan ilmu medis tradisional yang juga dipercayai oleh kolonial Barat di Nusantara.

Praktik klenik inilah yang sebenarnya menjadi dasar pemahaman masyarakat Nusantara dalam mempertahankan peradabannya di masa lalu. Mereka meninggalkan jejak pemahaman mereka lewat karya sastra yang mungkin masyarakat kini menganggapnya sekadar legenda.

Namun, lewat pesan dan bacaan mantra yang terkandung di dalamnya, ilmu pengetahuan mereka tak kalah maju dari pemahaman peradaban modern. Setidaknya, itulah yang diungkap oleh budayawan Elis Suryani N.S dari Universitas Padjadjaran dan rekan-rekan, lewat makalah di jurnal Jumantara tahun 2018.

"Apa itu mantra?" tulis mereka dalam makalah "Pemuliaan pangan berbasis naskah mantra pertanian dalam kaitannya dengan tradisi masyarakat Kampung Naga dan Baduy". 

"Mantra merupakan perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib, susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain." Sehingga mantra dipercayai sebagai bidang keilmuwan oleh ahli tertentu dengan pendekatan spiritual.

Baca Juga: Upacara 1.000 Sesajen dan Dupa: Wujud Toleransi Masyarakat Indonesia

Baca Juga: Menyepi dari Dunia Modern dan Teknologi di Kampung Naga Tasikmalaya

Pemahaman isi pada mantra masih bertahan oleh masyarakat adat kita, salah satunya masyarakat Sunda adat Kampung Naga dan Kanekes (Baduy).

Mereka berpegang teguh pada berbagai naskah Sunda terkait pertanian, seperti Sulanjana, Dewi Sri, Nyi Pohaci, Sawargaloka, dan Nyi Lokatmala, serta kumpulan naskah Mantra Pertanian yang menjadi koleksi Museum Sri Baduga Maharaja, Bandung.

Beberapa naskah itu masih ada yang selamat, karena sebagian lainnya hilang karena peristiwa sejarah seperti pembakaran yang dilakukan DI/TII, tulis Elis dan rekan-rekan. Naskah yang mereka teliti itu beraksara Pegon dan berbahasa Sunda-Arab.

"Naskah Mantra Pertanian mengungkapkan cara pemuliaan atau pengolahan lahan pertanian yang berkaitan dengan bercocok tanam padi, mulai dari pertama menanam tandur hingga panen berlangsung," tulis Elis dan rekan-rekan.

Hal inilah yang membedakan pada masyarakat adat Kampung Naga dan Kanekes dalam sektor pertaniannya dengan masyarakat luar. Naskah mantra itu menegaskan agar efektivitasnya pada ajaran Tuhan Yang Maha Kuasa, dan isi atau makna yang terkandung adalah tata cara untuk membudidayakan tanaman agar bisa melimpah.

Masyarakat adat Kanekes (Baduy) sedang 'ngaseuk', istilah untuk penanaman padi. Pemahaman pertanian berdasarkan naskah mantra yang dipegang teguh dan menjaga pesan leluhur untuk kualitas pertaniannya. (Bayu Dwi Mardana)

Kepercayaan pada Tuhan ini membuat proses bertani mereka terdapat semacam ritual, yang sebagian besar diadopsi dari agama Islam. Misal, dalam naskah itu tertulis untuk memulai pencangkulan di hari Jumat harus ngusap embun-embunan enam kali dengan arah pencangkulan sesuai mata angin tertentu di waktu Asar atau Subuh.

Implementasi adat Kampung Naga dan Kanekes dari naskah yang mereka pegang teguh juga terletak pada pengolahan lahan.

Salah contohnya adalah penerapan tatawayahtatalampah, dan tatawilayah untuk menentukan jenis tanaman apa pada waktu tertentu di lokasi pertanian. Perhitungan dilakukan dengan metode penanggalan yang diadopsi dari Arab, seperti MuharramSapar, dan Mulud, untuk bercocok tanam dan memanen.

Pemahaman ini membuat adanya perlakuan dan pengolahaan tanah pertanian yang berbeda, yang juga membuat hasil tani berbeda. Walau sebenarnya, ada faktor lain yang mendukung perbedaan hasil tani itu, seperti perbedaan jenis, kegemburan, dan keasaman tanah, serta sistem pengairan.

Baca Juga: Evolusi Perubahan Makanan Manusia Melahirkan Konsonan 'F' dan 'V'

Baca Juga: Dukun: Pentolan Medis yang Kini Dianggap Sekadar Praktik Klenik

"Pengetahuan perbintangan mereka dapatkan, dipelajari, dan mereka praktikkan secara turun-temurun dari para 'karuhun' (leluhur) terdahulu," tulis Elis dan rekan-rekan. "Hal ini dimungkinkan karena kehidupan masyarakat adat senantiasa menyatu dengan alam dan tradisi yang mengiringi kehidupannya."

Meski demikian, perkembangan jaman diperbolehkan masuk di masyarakat Kampung Naga, tetapi harus disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuan. Elis dan rekan-rekan menyarankan, "pemerintah tidak boleh memaksakan kehendaknya dalam upaya meningkatkan produksi pangan mereka." Traktor dan alat tenaga listrik tidak termasuk, karena ada kukuh yang dipakemkan oleh mereka.

Sampai saat ini, mereka lebih memilih alat cocok tanam tradisional yang jadi pakem dalam naskah mantra seperti yang disebut sebagai etemnyirujubleghalucecempehtolombong, dan jodang.