"Dari ribuan dara di dunia...Kumuliakan engkau sebagai dewiku...Kupuja dengan nyanyian mulia, kembang & setanggi dupa hatiku."
Soekarno dan Fatmawati akhirnya menikah di tahun 1943, dan di tahun yang sama, Inggit yang pantang dimadu memutuskan untuk kembali ke Bandung dan hidup menjanda.
Setelah mengarungi bahtera rumah tangga dan dianugerahi 5 keturunan, Soekarno kembali bertemu dengan pujaan hatinya dari pertemuan singkatnya dengan Hartini di Salatiga. Ia menulis sajak cinta kepada Hartini yang berbunyi:
"Tuhan telah mempertemukan kita Tien..dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir."
Petualangan cintanya bersemi dengan Hartini yang kemudian dinikahinya pada 7 Juli 1954. Pernikahan itu juga menjadikan Hartini sebagai istri kedua Soekarno setelah Fatmawati.
Cinta Soekarno kembali bergelora tatkala bertemu dengan penari istana, Haryati. Dalam sajaknya, ia menumpahkan perasaannya dalam sajak berbahasa Jawa:
“Yatie adiku wong aju, iki lho alrodji sing berkarat kae. Kuliknakna nganggo, mengko sawise sasasi rak weruh endi sing kok pilih: sing ireng, apa sing dekmau kae, apa sing karo karone? Dus; mengko sesasi engkas matura aku. (dadi senadjan karo karone kok senengi, aku ja seneng wae).Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundhut wanodja palenging atiku kok! Adja manehsakados alrodji, lha mbok apa apa ja bakal tak wenehke.”
artinya: "Yatie, adikku yang cantik, Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang satunya, atau keduanya? Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka keduanya, aku senang juga).Masa aku tidak senang! lha yang meminta saja wanita jantung hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.
Baca Juga: Soekarno dan Sumbangsih Wanita Kupu-Kupu Malam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Baca Juga: Jatuh Cinta di Masa Pergerakan: Melawan Batasan Ras dan Kolot Orangtua
Baca Juga: Ditemani Djoko Asmo, Sukarno Nyaris Terbakar Karena Keasyikan Pidato
Sajaknya disadur ulang penulis ke dalam bahasa Indonesia, yang merupakan lanjutan dari surat cinta Soekarno kepada Haryati:
"Tie, surat-suratku ini tolong disimpan ya! Supaya menjadi gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama) pada suatu saat nanti, kala aku mau pindah-rumah di dekat telaga biru yang saya ceritakan ketika itu. Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa. Coba kau pejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah putih (bukan kain kafan lho… tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu. Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku. Bukan aroma bunga, tetapi sebuah aroma yang tercipta dari rasa-cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk menembus dadaku, di dalam kuburan sana."
Sajaknya yang indah kepada Haryati, membawa Soekarno menghantarkan cintanya hingga ke pelaminan pada tahun 1963. Petualangan cintanya terus berlanjut sampai akhirnya bertemu dengan Heldy Djafar.
Soekarno menikah dengan Heldy Djafar, istrinya yang kesembilan dan yang terakhir. Cintanya ia labuhkan pada pernikahan yang dilangsungkan tahun 1966, di usia Soekarno yang ke-65 tahun.