"Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu-sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan."
Nationalgeographic.co.id—Demikianlah kutipan buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang terbit pertama kali tahun 1933 oleh Buya Hamka. Pada masanya, buku-buku cinta berbahasa Indonesia atau Melayu marak diperjualbelikan, dan memberikan gambaran bagaimana cinta diekspresikan secara beragam pada era kolonialisme.
Misalnya, selain yang disebutkan di atas, terdapat Hikayat Kadiroen oleh Semaun, Siti Nurbaya oleh Marah Rusli, Salah Asuhan oleh Abdoel Moeis, Layar Terkembang oleh Takdir Alisyahbana, Student Hidjo oleh Marco Kartodikromo, dan masih banyak lagi.
Menurut para pengamat sastra, karya sastra itu mengandung unsur kritik dan gagasan para penulisnya. Biasanya yang diangkat berhubungan dengan perlawanan terhadap adat, ketimpangan struktural yang jadi masalah era kolonial, dan rasialisme.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada Sartono Kartodirdjo dan rekan-rekan dalam buku Perkembangan Peradaban Priyayi menulis, perkembangan sastra dan gagasan itu disebabkan pengalaman kalangan bumiputra ketika mengayomi sistem pendidikan Barat. Berkat dibukanya sekolah bergaya Barat, pergaulan bercampur untuk bergaul.
Masyarakat tradisional tidak terbiasa dengan sistem pendidikan yang sangat terbukaitu, terutama dengan bertemunya laki-laki dan modern dalam sekolah dan menumbuhkan pengalaman cinta.
Lantaran, kalangan pribumi dan Tionghoa kolot yakin cinta hanya bisa tumbuh sendirinya setelah diikat dalam tali perkawinan tanpa pacaran dan tunangan.
Sejak kecil, anak-anak terbiasa untuk patuh mengikuti keputusan orangtua atas hidup mereka, dan itu terus belangsung sampai dewasa, termasuk ikut campur mencari jodoh dan menganggap lancang bila sang anak mendengar kabar perjodohan dari orangtua.
Keresahan ini sangat nampak pada pandangan Kartini lewat surat-suratnya dengan rekan Belandanya, Zeehandelar. Kartini mengeluh perkawinan bisa jadi azab bila ada cinta yang tumbuh sebelum ada perkawinan, dan akan dianggap durhaka bila melawan perjodohan.
"Mereka hanya perlu menerima apa pun keadaan dan kerpibadian dari pasangan yang dipilihkan orang tua. Pada awal abad ke-20, ketika modernitas semakin mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan, lahir pola-pola baru mencari cinta," tulis Ismi Indriani dari Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran dalam Jurnal Sejarah tahun 2021.
Dalam makalah berjudul Mencari Cinta pada Masa Pergerakan, Ismi menuturkan, kalangan pribumi yang mendapat sistem Barat ini memiliki kesempatan untuk mengalami proses penemuan cinta lewat berbagai cara. Seperti sekarang, mereka bisa menemukan cinta sejak kali pertama bertemu, atau berawal teman dekat hingga akhirnya saling cinta.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR