Raden Mas Said dalam Pertikaiannya dengan Mangkubumi dan Pakubuwana

By Galih Pranata, Sabtu, 26 Maret 2022 | 08:00 WIB
Pendopo di Pure Mangkunegaran di Surakarta. (Collectie Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Raden Mas Said kecil, dibesarkan dengan prahara dan tempaan yang luar biasa. Konflik ayahnya dengan Pakubuwana II, membuat ayah Raden Mas Said diasingkan, memaksa Mas Said tumbuh tanpa kasih dari ayahnya.

Raden Mas Said menyandang gelar sebagai Mangkunegara I (setelah mendirikan Kadipaten Mangkunegaran) selain juga dikenal sebagai sang pangeran Sambernyawa.

Mas Said hidup dalam keprihatinan bersama saudara-saudaranya. Setelah beranjak remaja, Pakubuwana II memanggilnya ke kraton Kartasura sebagaimana hak yang harus diterima sebagai wayah dalem (cucu raja).

"Mas Said mendapat ketidakadilan oleh kraton (Kartasura)," menurut Rendra Agusta dalam menyikapi buku karya Merle Ricklefs, berjudul Soul Catcher: Java's Fiery Prince Mangkunegara I, 1726-95, terbitan tahun 2021.

Oleh Pakubuwana II, Raden Mas Said hanya ditempatkan sebagai Gandhek Anom, yang seharusnya mendapat kepercayaan sebagai Pangeran Sentana. Dari kejadian itu, Ia mulai meninggalkan kraton untuk mencari kekuatan guna memberontak kekuasaan Pakubuwana II.

Bak gayung bersambut, Mangkubumi memilih menjadi sekutu dari Raden Mas Said demi mendapatkan haknya sebagai pewaris takhta dan cucu raja. Begitu juga dengan Mangkubumi, paman dari Raden Mas Said yang ingin mengembalikan hegemoni Mataram.

Menurut Rendra, Pemberontakan Raden Mas Said sejatinya sudah dimulai dari peristiwa Geger Pecinan di Kartasura, di mana ia bergabung dengan Raden Mas Garendi sebagai awal mula pemberontakan terang-terangan kepada pemerintah kolonial dan hegemoni Pakubuwana II.

Namun, sebelum rencana besarnya dilakukan, Raden Mas Said malah terlibat perselisihan hebat dengan Mangkubumi, yang merupakan Raja di Yogyakarta setelah terjadinya Perjanjian Giyanti.

Setelah Perjanjian Giyanti yang dilaksanakan pada tahun 1755 yang membelah Kraton Mataram menjadi Kasultanan Surakarta dan Yogyakarta, menjadi ancaman tersendiri bagi Raden Mas Said.

 Baca Juga: Mengenal Puro Mangkunegaran dan Modernitas Batiknya

 Baca Juga: Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan

 Baca Juga: Tari Bedhaya, Jejak Perlawanan Mangkunegara I dalam Geger Pacinan

"Rasa kecewa dan iri hati Raden Mas Said kepada Mangkubumi yang langsung mendapatkan tempat sebagai penguasa Yogyakarta, membuat Raden Mas Said ingin melakukan pemberontakan ke Yogyakarta," tulis Ririn Nur Lisdiana Puti.

Ririn menulis dalam skripsinya kepada UIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul Sejarah Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran Tahun 1741-1757 M, yang diselesaikan pada 2016.

Sejumlah pemberontakan dilancarkan Raden Mas Said dalam melawan hegemoni Mangkubumi di Yogyakarta. "Hampir sekitar 300 orang tewas dalam pemberontakan Raden Mas Said melawan Mangkubumi," sambung Rendra dalam presentasinya membedah buku Ricklefs.

Prangwedanan di Puro Mangkunegaran. Di sinilah setiap pangeran yang akan menjadi Adipati Mangkunegara dilantik sebelum menempati takhta singgasana. (Alfonsus Aditya)

Berbagai jalan untuk mengakhiri peperangan telah dilakukan oleh kedua kekuasaan, tetapi hasilnya nihil.

"Pada akhirnya, kedua kekuatan melakukan jalan perdamaian antara Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Raden Mas Said untuk mengakhiri pertumpahan darah," imbuh Ririn dalam skripsinya.

Guna meredam pemberontakan Raden Mas Said, Pakubuwana III menawarkan untuk mengembalikan Raden Mas Said ke Surakarta dan memberikan haknya.

"Pada tahun 1757, Raden Mas Said mendapatkan sebagian hak dan kekuasaan dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram yang dibuktikan melalui penandatanganan Perjanjian Salatiga oleh Pakubuwana III," lanjutnya.

Sekitar 16 tahun berperang dan memberontak untuk mengembalikan kekuasaan Mataram, Raden Mas Said akhirnya mendapatkan haknya dengan membangun Istana Mangkunegara di Surakarta.