Nationalgeographic.co.id—Selama masa pemerintahaannya (306-337 Masehi), Kaisar Kontantinus menciptakan transisi besar di Kekaisaran Romawi. Penerimaannya terhadap agama Kristen dan pembentukan ibu kota timur, menandai pemerintahannya sebagai titik poros penting antara sejarah kuno dan Abad Pertengahan.
Kekaisaran Romawi tempat kelahiran Konstantinus adalah salah satu dari kekacauan dan anarki. Perang saudara, invasi, dan penyakit menghancurkan kekaisaran dengan sangat buruk. Era ini dianggap sebagai Krisis Abad Ketiga.
Kaisar Diokletianus mencoba untuk menertibkan dengan mendistribusikan kekuasaan ke tetrarki empat penguasa. Para penguasa ini akan memerintah di empat bagian kekaisaran. Ayah Konstantinus, Konstantius I, adalah salah satu penguasa.
“Namun, rencana Diokletianus berantakan,” ungkap Kristin Baird Rattini dilansir dari laman National Geographic.
Setelah kematian ayahnya pada tahun 306 M, Konstantinus dinyatakan sebagai kaisar oleh tentara ayahnya. Dia menghabiskan 18 tahun berikutnya melawan tiga penguasa Romawi lainnya—saingan-saingannya—untuk menjadi satu-satunya kaisar.
Wahyu di pertempuran Milvian
Pertempuran Jembatan Milvian di luar Roma pada tahun 312 M adalah momen penting bagi Konstantinus. Ini juga menjadi awal mula agama Kristen di Romawi.
Konstantinus mengalahkan salah satu saingannya, saudara iparnya Maxentius, dan mendapatkan gelar kaisar Romawi barat. Tetapi yang jauh lebih penting adalah wahyu yang dia alami sebelum pertempuran.
Menurut penulis biografi Konstantinus, Eusebius, ia dan pasukannya melihat salib cahaya di langit. Salib itu muncul bersama dengan kata-kata Yunani yang artinya "Dalam tanda ini taklukkan."
Pada malam harinya, Konstantinus bermimpi di mana Kristus memperkuat pesannya. Kaisar menandai simbol salib Kristen pada perisai prajuritnya.
Ketika dia menang di Milvian Bridge, dia mengaitkan kemenangan itu dengan dewa orang-orang Kristen. Para sarjana modern masih memperdebatkan kisah tersebut dan apakah konversi Konstantinus itu tulus atau sebuah manuver politik.
Bagaimanapun juga, pada tahun 313 M. Konstantinus bertemu dengan Licinius, kaisar timur, dan bersama-sama mereka mengeluarkan Dekrit Milan. Dekrit tersebut memberikan “kepada orang-orang Kristen dan lainnya otoritas penuh untuk menjalankan agama yang disukai masing-masing.”
Perubahan rencana
Konstantinus mengambil kendali tunggal atas kekaisaran pada tahun 324 M. Akan tetapi, Roma mulai kehilangan pamornya bagi sang kaisar. Ketegangan tetap tinggi antara orang-orang kafir kota dan kaisar Kristen.
Dari sudut pandang militer, Konstantinus menyadari akan lebih mudah untuk menangkis ancaman dari timur dan untuk melindungi wilayah yang berharga jika memindahkan ibu kota. “Mesir menjadi salah satu wilayah berharga dan “lumbung” Romawi,” ungkap Rattini.
Ia pun meninggalkan Roma untuk selamanya untuk membangun kota kekaisaran yang akan memuliakan kekuatan dan imannya.
Konstantinopel (Istanbul modern), ibu kotanya, didedikasikan pada tahun 330 M. Sebelumnya dikenal sebagai Bizantium, kota ini berada di bawah kendali Romawi selama lebih dari satu abad.
Konstantinus membangun kembali dan memperluasnya dalam skala yang monumental. Ia melipatgandakan ukuran kota yang ada dan menawarkan kewarganegaraan penuh. Rattini menambahkan, “roti gratis diberikan untuk mendorong pria berpangkat pindah ke sana bersama keluarganya.”
Baca Juga: Misteri Kematian Kaisar Romawi, Gordian III Saat Berusia 19 Tahun
Baca Juga: Mengenal Sosok Trajan, Kaisar Romawi Kuno Dengan Gelar Optimus
Baca Juga: Marcus Aurelius: Kaisar Romawi Baik Hati yang Juga Seorang Filsuf
Sebuah istana besar dan aula legislatif yang megah menetapkan gravitasi kota sebagai ibu kota baru. Gereja-gereja mulai menandai kaki langit; orang Kristen disambut, dan agama lain ditoleransi.
Segera, kekuasaan Konstantinopel melampaui Roma. Kekaisaran barat secara bertahap runtuh sampai kejatuhan Roma pada tahun 476 M. Namun ibu kota Konstantinus—dan fondasi Kristen untuk kekaisaran—terus berkembang selama hampir seribu tahun.
Saat Konstantinus mendirikan ibu kota barunya pada tahun 330 M, kota itu telah berpindah tangan beberapa kali di antara negara adidaya regional.
Darius I dari Persia, Liga Delian, Spartan, dan Alexander Agung semuanya pernah menguasai pelabuhan strategis yang dikenal sebagai Bizantium di Bosporus.
Kaisar Romawi Septimius Severus menghancurkan kota itu pada tahun 196 M dan membangun kembali versi yang lebih megah. Ini kemudian dikembangkan oleh Konstantinus untuk Roma Barunya.
Konstantinopel kemudian menjadi pusat kepercayaan, kekuasaan, perdagangan, dan arsitektur yang makmur dan penting.