Julius Caesar, Akhir yang Berdarah dari Seorang Diktator Romawi

By Warsono, Rabu, 23 Maret 2022 | 08:00 WIB
Gaius Julius Caesar (100 - 44 SM) adalah seorang jenderal dan negarawan Romawi. (Public Domain)

Bahkan kebiasaannya memberikan grasi kepada musuh dapat terihat sebagai refleksi dari pemikiran penguasa: Untuk menunjukkan belas kasihan, seseorang yang harus memiliki kekuasaan di atas orang lain—seseorang yang menjadi raja.

Seperti itulah situasinya pada 44 SM. Setelah kemenangannya yang menakjubkan pada perang Pharsalus, Thapsus, dan Munda, antara 48 dan 45 SM. Caesar telah bertindak dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara pemenang perang saudara. Dia membiarkan yang kalah tetap hidup, karena dia berharap untuk menggabungkan kekuatan mereka dengannya.

Dengan cara ini Brutus, yang bertempur melawan Caesar di bawah Pompey, dan Cassius, yang mengomandoi armada kapal Pompey melawan Cesar di Pharsalus, dimaafkan daripada dieksekusi. Caesar menunjuk keduanya sebagai praetor pada 44 SM—kebijakan yang membuat banyak orang gusar. Mereka melihat pengampunan diktator sebagai penghinaan dan kesewenang-wenangan, bertentangan dengan prisip-prinsip hukum—tanda seorang tiran.

Saat Caesar menjadi diktator seumur hidup—jabatan yang menempatkan kekuatan maksimum sipil dan militer di tangannya—karir politik setiap orang Romawi tergantung padanya. Itu penghinaan yang pahit bagi bangsawan yang telah diampuni oleh Caesar tetapi kini menemukan diri mereka sendiri tergantung pada keinginan Caesar.

Para pejabat ini memutuskan untuk melakukan serangan pamungkas melawan kekuasaannya. Semua pembunuh pada Ides bulan Maret termasuk lingkaran dalam Caesar—musuh yang telah dia maafkan dan kawan-kawan yang dia promosikan. Apa yang membawa “para pembebas” ini bersama-sama adalah ketakutan jika pemusatan kekuasaan mutlak di tangan satu orang akan mengancam institusi demokrasi republik.

Setidaknya 60 orang, dan mungkin lebih dari 80, yang terlibat dalam rencana melawan Caesar. Otak konspirasi adalah Cassius, yang paham bahwa dia membutuhkan kerja sama dengan seseorang yang akan meminjamkan tekanan politik untuk serangan di masa depan, meningkatkannya sedikit di atas level balas dendam pribadi. Dia memilih iparnya Marcus Junius Brutus, bangsawan yang dihormati. Keluarganya mengaku keturunan, berdasarkan garis ayah, dari Lucius Junius Brutus, yang pernah mengatakan telah mendirikan Republik Romawi.

Dengan Cassius merencanakan di balik layar dan Brutus bertindak sebagai pemimpin boneka, persekutuan dibentuk. Di antara kelompok terakhir, dua pria yang menonjol: Gaius Trebonius dan Decimus Junius Brutus Albinus, keduanya jenderal yang telah berjuang bersama Caesar di Gaul dan perang saudara. Yang terakhir adalah sepupu jauh Brutus dan teman dekat Caesar.

Plutarch menceritakan bahwa setahun sebelumnya, setelah kemenangan Caesar di Munda, Trebonius sudah memberi tahu Mark Antony tentang kemungkinan bergabung dalam pembunuhan. Tidak ada lagi yang diketahui tentang rencana itu kecuali bahwa Mark Antony menolak untuk bergabung, tetapi dia juga gagal untuk menginformasikan ke Caesar bahwa sedang dibuat skema untuk melawannya.

Ketika Trebonius mengatakan kepada komplotan bahwa Mark Antony tidak akan ikut mereka bersemangat untuk membunuh jenderal Romawi juga, tetapi Brutus keberatan. Dia percaya bahwa menyingkirkan Caesar adalah tindakan peradilan semesta, sementara membunuh Mark Antony akan terlihat sebagai tindakan partisan. Alih-alih, mereka memutuskan bahwa pada hari pembunuhan, mereka akan mengalihkan perhatian Mark Antony di luar Senat—dia juga seorang senator dan juga jenderal—seandainya dia mencoba untuk datang menolong Caesar selama penyerangan.

Caesar sudah lama akan pergi untuk kampanye panjang melawan orang-orang Parthia dua hari setelah Ides bulan Maret tetapi telah memanggil Senat untuk bertemu sekali lagi sebelum dia pergi. Menurut Suetonius, ada rumor bahwa di pertemuan itu proposal akan dibuat untuk menyatakan Caesar sebagai raja provinsi non-Italia, proposal yang tidak ingin disetujui oleh konspirator. Mereka tahu bahwa sekali Caesar pergi dari Roma bersama pasukannya, dia akan di luar jangkauan mereka.

Impresi seniman modern tentang sosok Gaius Julius Caesar bila hidup di zaman kiwari. Caesar adalah seorang jenderal dan negarawan Romawi. Sebagai anggota dari Triumvirat Pertama, Caesar memimpin pasukan Romawi dalam Perang Galia sebelum mengalahkan Pompey dalam perang saudara dan memerintah Republik (Historical Eve)

Menurut Cicero—senator pada masa itu, dan seorang yang berpengetahuan luas—rapat Senat sebenarnya dipanggil untuk menyelesaikan keputusan tentang siapa yang akan menggantikan Caesar sebagai konsul saat dia meninggalkan Roma. Tahun itu, Caesar dan Mark Antony adalah konsul bersama; dengan perginya Caesar, Mark Antony dan orang baru yang ditunjuk akan menjalankan otoritas tertinggi di Roma.