Julius Caesar, Akhir yang Berdarah dari Seorang Diktator Romawi

By Warsono, Rabu, 23 Maret 2022 | 08:00 WIB
Gaius Julius Caesar (100 - 44 SM) adalah seorang jenderal dan negarawan Romawi. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Catatan serangan demi serangan pada Ides bulan Maret—“Ides” adalah nama yang diberikan untuk hari pertengahan setiap bulan—menyisakan beberapa detail tentang bagaimana diktator seumur hidup Romawi menemui akhir yang berdarah pada 44 SM.

Serangan pertama terjadi di siang hari pada 15 Maret 44 SM. Konspirator “tiba-tiba menghunus belati mereka dan bergegas menghampirinya,” tulis Nicholas dari Damaskus, sejarawan abad pertama SM. “Pertama [Publius] Servilius Casca menikamnya di bahu kiri sedikit di atas tulang selangka, tempat yang dia bidik tetapi meleset karena gugup.”

Setelah serangan Casca yang meleset, Julius Caesar “merebut toganya dari [Tillius] Cimber, menangkap tangan Casca, melompat dari kursinya, berputar, dan melempar Casca dengan sangat ganas,” menurut sejarawan Yunani Alpian dari Alexandria. Suetonius, penulis biografi Romawi dan kolektor barang antik, memberikan catatan yang sedikit berbeda: “Caesar menangkap lengan Casca dan menusuk dengan stilusnya,” peralatan yang tajam yang digunakan untuk menulis pada tablet lilin yang dapat merobek daging.

“Di saat yang hampir bersamaan keduanya berteriak,” tulis Plutarch, sejarawan dan penulis biografi, menggambarkan bagaimana reaksi Julius dan Casca. Julius, dalam bahasa latin, bertanya, “terkutuk kau Casca, apa yang kamu lakukan?” Casca, dalam bahasa Yunani, memanggil saudara di dekatnya, Gaius, “saudaraku, tolong!”

Serangan mematikan berlangsung dengan cepat. Appian menulis bahwa “Cassius melukai [Caesar] di wajahnya, Brutus memukul pahanya, dan Boculianus di antara tulang belikat.” Merespons teriakan Servelius Casca, tulis Nicholas, Gaius saudaranya, “mengayungkan pedang ke pinggang Caesar.”

Mayoritas senat Romawi, tidak mengetahui rahasia rencana pembunuhan, duduk dalam keheningan yang mengerikan, terlalu takut untuk melarikan diri, meski beberapa bergegas ke keramaian di luar. “Suasana hiruk pikuk yang terungkap pada hari Ides bulan Maret yang penting telah dinodai oleh pertumpahan darah,” tulis Josep Marias Casals di laman National Geographic.

Detail Pembunuhan

Pemahaman modern tentang serangan tergantung pada catatan dari beberapa sumber kuno. Setiap versi berakhir dengan cara yang sama—dengan tewasnya Caesar dan ketidakpastian masa depan Romawi—tetapi mereka sedikit berbeda dalam perspektif dan analisis mereka.

Plutarch, contohnya, berkata penguasa melawan balik ketika diserang. “Caesar, dikepung dari segala sisi, ke manapun dia berpaling, menghadapi serangan senjata yang ditujukan ke muka dan matanya, didorong ke sana kemari seperti binatang buas, terjerat di tangan semua orang; karena semua orang mengambil bagian dalam pengorbanan dan rasa dari pembantaian.”

Serupa dengan catatan Appian. Setelah ditikam beberapa kali, “dengan amarah dan teriakan Caesar berbalik ke yang satu dan berbalik lagi ke yang lain seperti binatang liar.” Di versi Suetonius, bagaimanapun, Caesar berhenti melawan setelah dua serangan pertama. Dengan tangan kanannya dia menarik toganya untuk menutupi kepalanya. Dengan tangan kirinya, dia melonggarkan lipatannya jadi toganya turun ke bawah, dan menutupi kakinya saat dia jatuh. Caesar tewas “tidak mengucapkan sepatah kata pun tetapi hanya erangan pada pukulan pertama.”

Dio Cassius, sejarawan Romawi yang menulis pada abad ketiga, berkata bahwa Caesar tertangkap basah oleh penyerang dan tidak dapat melakukan pembelaan. “Dengan alasan jumlah mereka Caesar tidak bisa berkata atau melakukan apa pun, tetapi menutupi wajahnya, terbunuh dengan banyak luka."

Pemimpin Galia Vercingetorix menyerah kepada Caesar pada tahun 52 SM. (Wikimedia Commons)

“Dengan banyaknya luka,” tulis Nicholas, “[Caesar] jatuh di kaki patung Pompey. Setiap orang ingin terlihat menjadi bagian dari pembunuhan itu, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang gagal menghantam tubuhnya yang terbaring di sana.”

Namun ketika ahli forensik merekonstruksi kejahatan pada 2013, dia menyimpulkan hanya lima sampai sepuluh penyerang saja yang sebenarnya bisa menikam Caesar saat keributan. Itu mungkin sangat mustahil bagi yang lainnya untuk menyerang secara bersamaan ke satu orang mengingat logistik dan dimensi tempat itu—ruang yang menyebabkan korban dari kawan sendiri selama penyerangan, dengan Cassius memotong tangan Brutus, dan Minucius menikam Rubrius di paha.

Caesar sendiri ditikam 35 kali, di cerita Nicholas; Appian, Plutarch, dan Suetonius memberikan angka 23. Suetonius menggambarkan bagaimana Antistius, fisikawan, memeriksa jasad (di salah satu autopsi pertama yang tercatat di dunia) dan menemukan bahwa satu luka saja sudah berakibat fatal: “yang kedua di dada,”—serangan yang dikreditkan untuk Gaius Casca, dalam catatan Nicholas.

Segera setelah Caesar tewas, Brutus berjalan ke bagian tengah kuria untuk berbicara, tetapi tidak ada seorang pun yang tinggal untuk mendengarkan. Senator yang tersisa lari ketakutan, ngeri kalau mereka akan dikejar. Pada momen itu tidak jelas di antara kelompok itu siapa yang menjadi konspirator, dan apakah serangan itu akan meluas ke setiap pendukung Julius Caesar.

Plutarch menggambarkan perasaan gembira para pembunuh ketika mereka juga meninggalkan gedung Senat, “tidak seperti buronan, tetapi dengan wajah gembira dan penuh percaya diri.” Mereka dengan segera mengumumkan ke orang-orang bahwa Roma telah terbebas dari tiran. Di keheningan kuria yang tiba-tiba, hanya jasad berlumuran darah yang tertinggal.

Para Pria dan Motifnya

Pada saat Julius Caesar melangkah di depan Senat di hari yang menentukan itu, Republik Romawi sudah sakit selama bertahun-tahun. Ketimpangan ekonomi, kebuntuan politik, dan perang saudara telah melemahkan republik yang berusia hampir 500 tahun di abad sebelum kebangkitan Caesar.

Namun Caesar sangat populer dengan orang-orang Roma—pemimpin militer yang sukses yang mengalahkan sekutunya yang berubah menjadi musuh Pompey setelah perang saudara selama empat tahun; menaklukan Mesir dan sekutunya bersama Cleopatra (anak mereka, Caesarion, alias Ptolemy Caesar, kemudian menjadi penguasa Negara itu bersama ibunya); dan memperluas republik untuk memasukkan bagian dari Jerman, Belgia, Swiss, Spanyol, dan Prancis modern. Dia juga mengesahkan undang-undang (lewat keberatan Senat) yang membantu orang miskin dan penulis yang dicintai yang sering kali menulis tentang perjalanannya, teori-teorinya, dan filosopi politiknya.

Banyak anggota Senat—kelompok yang ditunjuk (bukan dipilih) pemimpin politik yang termasuk bangsawan, kelompok kecil konservatif elite musuh Caesar yang telah mendukung Pompey—membenci popularitas Caesar dan dianggap arogan.

Seperti yang mereka lihat, pemerintahan autokrat Caesar semakin mengancam republik. Dia sering kali melewati Senat dalam memutuskan hal penting, mengontrol kas, dan membeli kesetiaan pribadi dari tentara dengan janji memberikan tanah publik sebagai properti ketika mereka pensiun. Dia mengecap citra dirinya di uang koin, berhak menerima atau menolak hasil pemilihan untuk hakim dan pejabat rendah lainnya, dan—mungkin yang paling buruk dari semuanya—dikabarkan sudah siap mendeklarasikan dirinya sebagai raja.

Roma sangat antimonarki sejak 509 SM, ketika Lucius Tarquinius Superbus terguling, dan sangat bangga dengan kebebasannya. Dituduh menghendaki takhta adalah penghinaan yang mengerikan. Penentang khawatir Caesar ingin mengembalikan monarki, dengan dirinya sendiri sebagai penguasa.

Meski dia ditolak secara terbuka mahkota emas simbolis ditawarkan kepadanya di festival Lupercalia pastoral oleh sepupu dan sekutu terdekatnya Marcus Antonius (Mark Antony), perilakunya terlihat menguatkan pemikirannya. Dia meletakkan kawan-kawannya di posisi yang kuat, menempatkan patungnya di biara, dan bereaksi dengan kemarahan ketika patung yang diletakkan di salah satunya disingkirkan. Dia juga memakai bot merah tinggi raja Italia dan mengenakan gaun kemenangan (melambangkan kemenangan perang) kapan pun dia suka.

Bahkan kebiasaannya memberikan grasi kepada musuh dapat terihat sebagai refleksi dari pemikiran penguasa: Untuk menunjukkan belas kasihan, seseorang yang harus memiliki kekuasaan di atas orang lain—seseorang yang menjadi raja.

Seperti itulah situasinya pada 44 SM. Setelah kemenangannya yang menakjubkan pada perang Pharsalus, Thapsus, dan Munda, antara 48 dan 45 SM. Caesar telah bertindak dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara pemenang perang saudara. Dia membiarkan yang kalah tetap hidup, karena dia berharap untuk menggabungkan kekuatan mereka dengannya.

Dengan cara ini Brutus, yang bertempur melawan Caesar di bawah Pompey, dan Cassius, yang mengomandoi armada kapal Pompey melawan Cesar di Pharsalus, dimaafkan daripada dieksekusi. Caesar menunjuk keduanya sebagai praetor pada 44 SM—kebijakan yang membuat banyak orang gusar. Mereka melihat pengampunan diktator sebagai penghinaan dan kesewenang-wenangan, bertentangan dengan prisip-prinsip hukum—tanda seorang tiran.

Saat Caesar menjadi diktator seumur hidup—jabatan yang menempatkan kekuatan maksimum sipil dan militer di tangannya—karir politik setiap orang Romawi tergantung padanya. Itu penghinaan yang pahit bagi bangsawan yang telah diampuni oleh Caesar tetapi kini menemukan diri mereka sendiri tergantung pada keinginan Caesar.

Para pejabat ini memutuskan untuk melakukan serangan pamungkas melawan kekuasaannya. Semua pembunuh pada Ides bulan Maret termasuk lingkaran dalam Caesar—musuh yang telah dia maafkan dan kawan-kawan yang dia promosikan. Apa yang membawa “para pembebas” ini bersama-sama adalah ketakutan jika pemusatan kekuasaan mutlak di tangan satu orang akan mengancam institusi demokrasi republik.

Setidaknya 60 orang, dan mungkin lebih dari 80, yang terlibat dalam rencana melawan Caesar. Otak konspirasi adalah Cassius, yang paham bahwa dia membutuhkan kerja sama dengan seseorang yang akan meminjamkan tekanan politik untuk serangan di masa depan, meningkatkannya sedikit di atas level balas dendam pribadi. Dia memilih iparnya Marcus Junius Brutus, bangsawan yang dihormati. Keluarganya mengaku keturunan, berdasarkan garis ayah, dari Lucius Junius Brutus, yang pernah mengatakan telah mendirikan Republik Romawi.

Dengan Cassius merencanakan di balik layar dan Brutus bertindak sebagai pemimpin boneka, persekutuan dibentuk. Di antara kelompok terakhir, dua pria yang menonjol: Gaius Trebonius dan Decimus Junius Brutus Albinus, keduanya jenderal yang telah berjuang bersama Caesar di Gaul dan perang saudara. Yang terakhir adalah sepupu jauh Brutus dan teman dekat Caesar.

Plutarch menceritakan bahwa setahun sebelumnya, setelah kemenangan Caesar di Munda, Trebonius sudah memberi tahu Mark Antony tentang kemungkinan bergabung dalam pembunuhan. Tidak ada lagi yang diketahui tentang rencana itu kecuali bahwa Mark Antony menolak untuk bergabung, tetapi dia juga gagal untuk menginformasikan ke Caesar bahwa sedang dibuat skema untuk melawannya.

Ketika Trebonius mengatakan kepada komplotan bahwa Mark Antony tidak akan ikut mereka bersemangat untuk membunuh jenderal Romawi juga, tetapi Brutus keberatan. Dia percaya bahwa menyingkirkan Caesar adalah tindakan peradilan semesta, sementara membunuh Mark Antony akan terlihat sebagai tindakan partisan. Alih-alih, mereka memutuskan bahwa pada hari pembunuhan, mereka akan mengalihkan perhatian Mark Antony di luar Senat—dia juga seorang senator dan juga jenderal—seandainya dia mencoba untuk datang menolong Caesar selama penyerangan.

Caesar sudah lama akan pergi untuk kampanye panjang melawan orang-orang Parthia dua hari setelah Ides bulan Maret tetapi telah memanggil Senat untuk bertemu sekali lagi sebelum dia pergi. Menurut Suetonius, ada rumor bahwa di pertemuan itu proposal akan dibuat untuk menyatakan Caesar sebagai raja provinsi non-Italia, proposal yang tidak ingin disetujui oleh konspirator. Mereka tahu bahwa sekali Caesar pergi dari Roma bersama pasukannya, dia akan di luar jangkauan mereka.

Impresi seniman modern tentang sosok Gaius Julius Caesar bila hidup di zaman kiwari. Caesar adalah seorang jenderal dan negarawan Romawi. Sebagai anggota dari Triumvirat Pertama, Caesar memimpin pasukan Romawi dalam Perang Galia sebelum mengalahkan Pompey dalam perang saudara dan memerintah Republik (Historical Eve)

Menurut Cicero—senator pada masa itu, dan seorang yang berpengetahuan luas—rapat Senat sebenarnya dipanggil untuk menyelesaikan keputusan tentang siapa yang akan menggantikan Caesar sebagai konsul saat dia meninggalkan Roma. Tahun itu, Caesar dan Mark Antony adalah konsul bersama; dengan perginya Caesar, Mark Antony dan orang baru yang ditunjuk akan menjalankan otoritas tertinggi di Roma.

Dalam beberapa hal, panggung telah disiapkan untuk mereka. Meski Caesar sudah mendengar rumor rencana pembunuhan melawan dirinya (beberapa secara tegas menyebut Brutus), dia memutuskan untuk mengabaikan mereka dengan keyakinan bahwa Brutus dan yang lainnya tidak akan pernah bertindak melawannya karena takut bahwa jika ia tewas akan menyebabkan perang saudara yang baru.

Caesar baru-baru ini juga membubarkan pendampingan resmi pengawal, setelah para senator bersumpah untuk melindunginya dengan nyawa mereka sendiri dalam janji kesetiaan politik. Namun dia jauh dari tidak terlidungi di Ides. Dua puluh empat lictor—yang bertugas mengamankan hakim—berjalan di depannya ke mana saja dia pergi. Dia juga didampingi di sekitar kota oleh teman-teman dan pengikut setia—beberapa mencari bantuan, lainnya hanya melihat sekilas ke pria hebat itu.

Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan, konspirator memutuskan untuk membuat gerakan mereka selama sidang Senat, ketika pengiring Caesar akan berkurang (hanya senator yang dapat hadir) dan kaisar akan tidak bersenjata (senjata dilarang di bawa masuk ke Senat, jadi konspirator harus hati-hati membawa senjata yang mereka sembunyikan).

Mimpi dan Pertanda

Di malam pada 14-15 Maret, istri Caesar selama 15 tahun, Calpurnia, mengalami mimpi buruk yang nyata yang mana dia melihat suaminya berlumuran darah. Di pagi harinya dia memohon suaminya untuk tidak pergi ke Senat.

Sang kaisar mengaku tidak percaya takhyul, tetapi dia terganggu oleh penglihatan istrinya—dan oleh mimpinya sendiri malam itu naik di atas awan, meninggalkan Roma di bawah kakinya, gemetar saat Jupiter memegang tangannya—jadi di pagi hari dia menganggap serius mimpi istrinya. Dia memerintahkan pengorbanan beberapa hewan untuk melihat masa depan.

Semua pertanda tidak menguntungkan. Sebulan sebelumnya, seorang peramal, atau haruspex, bernama Spurinna telah memperingatkan Caesar tentang bahaya di depannya. Pada 15 Februari, tulis Suetonius, Spurinna sudah “membaca” isi perut hewan yang dikorbankan menandakan bahwa Caesar menghadapi “bahaya, yang tidak akan datang lebih lambat dari Ides bulan Maret.”

Alih-alih mengutuknya sebagai seorang tiran, orang-orang meratapi Caesar sebagai seorang martir. ( Vincenzo Camuccini)

Di atas segalanya, Caesar sakit secara fisik. Menurut Nicholas dari Damaskus, tabib Caesar mencoba menghentikannya untuk tidak pergi ke Senat pada hari itu “karena vertigo yang terkadang dia alami, dan dari yang saat itu dia derita.” (Teori lama bahwa Caesar menderita epilepsi. Juga kemungkinan dia menderita strok ringan.) Saat hari Ides mulai terbit, Caesar merasa kepayahan dan mual. Menurut Suetonius, dia memutuskan untuk tinggal di rumah dan mengirim Mark Antony ke Senat untuk mengakhiri sidang.

Namun di momen kritis itu, Decimus Junius Brutus Albinus muncul dan meyakinkan Caesar “teman”nya untuk pergi ke Senat seperti yang direncanakan, mengatakan pada diktator dia lebih baik muncul tidak masuk akal jika dia mengubah rencananya karena mimpi istrinya. Jika diktator merasa benar-benar sakit, dia bisa menghindari menyinggung para senator dengan menampakkan diri secara singkat di Senat dan lalu menunda sidang.

Pertimbangan Decimus Brutus berhasil, dan Caesar meninggalkan rumahnya pada pukul 11 di tandu yang dipikul oleh empat budak, dikawal oleh para lictor. Caesar menuju Theater of Pompey, kompleks besar yang dibangun oleh rivalnya di pinggiran kota Roma. Di dalamnya adalah kuria (gedung Senat), tempat pertemuan akan diadakan.

Di perjalanan, kerumunan orang mengepung tandunya dan membanjiri Caesar dengan petisi. Di tengah kebisingan, Caesar mengabaikan catatan yang diserahkan seseorang ke tangannya memperingatkan dia tentang rencana pembunuhan. Itu mungkin diberikan oleh Artemidorus dari Damaskus, seorang guru Yunani dari lingkar Brutus, menurut Nicholas dari Damaskus, catatan itu ditemukan dekat jasad Caesar di antara kertas-kertas lainnya.

Plutarch menulis “[konspirator] semuanya bergegas menuju beranda Pompey dan menunggu di sana, berharap Caesar segera datang ke pertemuan.” Karena dilarang membawa senjata ke Senat, belati Brutus disembunyikan di balik jubahnya. Senator lainnya menyembunyikan senjata mereka di kotak dokumen yang telah dibawa budak muda, disebut capsarii, ke kompleks.

Caesar tiba. Saat dia berjalan melewati pintu, para senator berdiri. Ruangannya tidak lebih besar dari lapangan tenis modern, dan setidaknya 200 orang harus hadir untuk mencapai kuorum. Itu adalah ruangan kecil untuk melakukan gerakan.

Serangan

Tidak semua konspirator adalah anggota Senat, dan tidak jelas berapa banyak dari senator yang berdiri berharap untuk melihat kematian Caesar. Di depan bangku mereka berdiri podium tempat Caesar akan memimpin selama sidang dari singgasana emasnya. Konspirator bergegas untuk berkumpul mengelilingi singgasana.

Segera setelah Caesar duduk—dan saat senator lainnya masih berdiri sebagai penghormatan—para pembunuh, tulis Plutarch, “mengepungnya bersama, mengajukan Tillius Cimber dari sejumlah mereka dengan permohonan atas nama saudaranya, yang diasingkan. Yang lain semua bergabung dalam permohonannya dan menggenggam tangan Caesar, mencium dadanya dan kepalanya.

  

Baca Juga: Apakah Kaisar Romawi Julius Caesar Hancurkan Perpustakaan Aleksandria?

Baca Juga: Alih-alih Damai, Penikaman Julius Caesar Sebabkan Rebutan Kuasa Romawi

Baca Juga: Awalnya Julius Caesar Dianggap Epilepsi, Temuan Terkini Dia Strok

  

Awalnya Caesar mengabaikan permintaan itu. Namun ketika para senator tidak akan membiarkannya pergi, dia mencoba berdiri dengan paksa. Saat itulah Tillius, yang telah berlutut di depan Caesar, menggenggam toganya di bagian bahu dengan gestur permohonan. Ini menghalangi Caesar untuk berdiri dan membiarkan lehernya terbuka. Menurut Suetonius, Caesar lalu berteriak, “Kenapa, ini kekerasan!”

Appian berkata Tillius lalu berteriak, “Apa yang Anda tunggu?”: Jawaban, tentu saja, tidak ada. Sisanya, seperti yang mereka bilang, adalah sejarah.

Pascapembunuhan

Setelah kematian Caesar, Mark Antony mengadakan pemakaman agung untuk Caesar. Dengan popularitas diktator yang sedemikian rupa hingga kerusuhan berkembang, mengarah ke kremasi dadakan Caesar di Forum. Beberapa pembunuh, termasuk Brutus dan Cassius, menganggap ini sebagai pertanda untuk meninggalkan Roma, meski tidak ada yang menyerahkan posisi resmi mereka. Pembunuh yang tersisa memberikan hal positif untuk kejadian itu, merayakan itu sebagai akhir dari tirani.

Amnesti dinegosiasikan—melalui persetujuan Senat untuk meratifikasi semua keputusan Caesar. Koin baru telah dicetak, menunjukkan dua belati dan tudung, penutup kepala kemerdekaan yang dipakai oleh budak Romawi yang dibebaskan, dengan tanggal yang ditunjukkan sebagai Ides bulan Maret. Itu adalah perayaan kebebasan, menurut sejarawan Mary Beard, itu bergema di Roma seperti yang dilakukan Bastile Days di Prancis modern.

Akhirnya kematian Julius Caesar memiliki dampak berlawanan dengan apa yang diharapkan para pembunuh. Belati yang mereka tusukan ke dalam tubuhnya di hari pada bulan Maret itu memberikan serangan fatal pada Republik Romawi yang sudah terluka dan membuka jalan bagi imperium. Banyak publik yang berbalik melawan pembunuhan , dan terjadi perang saudara. Sentimen populer mengayun kembali ke Caesar. Komet, yang terlihat saat siang hari selama seminggu, hilang di langit selama diadakannya pertandingan untuk menghormatinya—pertanda nyata bahwa dia telah menjadi dewa. Dalam waktu dua tahun, faktanya, dia akan sepenuhnya didewakan.

Kematian Caesar membuka jalan bagi pewarisnya yang berusia 19 tahun, seorang anak angkat. Octavian muncul sebagai kaisar de facto pertama (di masa depan Augustus). Octavian akan menghabiskan beberapa tahun berikutnya memburu para pembunuh Caesar: pemimpin kelompok Brutus dan Cassius terbunuh pada 42 SM, yang yang paling terakhir akan binasa delapan tahun kemudian.