Nationalgeographic.co.id—Gubernur Nicholaas Hartingh menjadi sibuk di sekitar tahun 1750-an, saat ia mulai bolak-balik di antara Semarang, Surakarta dan Yogyakarta.
Tatkala di tahun 1755 ia kembali ke Surakarta, Hartingh telah menemukan kraton sedang dalam kondisi yang tidak harmonis dan mengalami sejumlah kehancuran akibat pemberontakan dan perang.
"Salah satu babad berbahasa Jawa bertutur tentang tindak manipulatif Hartingh yang sebenarnya memainkan peranannya sebagai dalang yang memainkan wayang-wayang Jawa-nya," tulis Merle Calvin Ricklefs.
Ricklefs mengungkap tentang penuturan babad akan adanya permainan politik yang dimainkan Hartingh dalam bukunya yang berjudul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 yang diterjemahkan dan diterbitkan pada 2002.
Lebih dari sekadar seorang dalang Jawa, Hartingh telah membuat boneka-bonekanya hidup, memainkan dan menggerakan mereka ke arah politiknya.
Sebuah peranan yang luar biasa yang belum pernah dimainkan orang Eropa manapun sampai-sampai sebuah babad Jawa telah mengulasnya.
Dia dianggap dalang yang berjasa meredam dan mengakhiri perang di antara Surakarta dan Yogyakarta yang tengah berseteru. Ia mengalihkan peperangan menjadi pesan damai lewat sebuah perjanjian di tahun 1755.
"Hartingh tidak pernah mengarang siapa saja lakonnya, dan tidak juga menulis skenarionya, tapi dia berlaku sebagaimana dalang memainkan wayang-wayangnya," imbuhnya.
Tidak sendirian, Hartingh bersama dengan Belanda lainnya, Jacob Mossel, berupaya menempuh cara-cara manipulatif untuk meredam peperangan lewat diplomasi dan negoisasi dengan kedua belah pihak.
Pakubuwana II dan III yang kala itu telah mengalami sejumlah pemberontakan, dipaksa oleh Hartingh agar memberikan setengah dari wilayah kekuasaannya kepada para pemberontak, tidaklah lain adalah rivalnya, Mangkubumi beserta dengan Pangeran Sambernyawa, Raden Mas Said.
"Hartingh menegaskan jika Pakubuwana mau bernegoisasi dan memberi sebagian kekuasaannya, maka tidak akan ada penggulingan Susuhunan dalam kraton," jelasnya.