Belanda-Belanda di Balik Terbelahnya Surakarta dan Yogyakarta

By Galih Pranata, Rabu, 30 Maret 2022 | 07:02 WIB
Acara resepsi di Keraton Surakarta. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Gubernur Nicholaas Hartingh menjadi sibuk di sekitar tahun 1750-an, saat ia mulai bolak-balik di antara Semarang, Surakarta dan Yogyakarta.

Tatkala di tahun 1755 ia kembali ke Surakarta, Hartingh telah menemukan kraton sedang dalam kondisi yang tidak harmonis dan mengalami sejumlah kehancuran akibat pemberontakan dan perang.

"Salah satu babad berbahasa Jawa bertutur tentang tindak manipulatif Hartingh yang sebenarnya memainkan peranannya sebagai dalang yang memainkan wayang-wayang Jawa-nya," tulis Merle Calvin Ricklefs.

Ricklefs mengungkap tentang penuturan babad akan adanya permainan politik yang dimainkan Hartingh dalam bukunya yang berjudul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 yang diterjemahkan dan diterbitkan pada 2002.

Lebih dari sekadar seorang dalang Jawa, Hartingh telah membuat boneka-bonekanya hidup, memainkan dan menggerakan mereka ke arah politiknya.

Sebuah peranan yang luar biasa yang belum pernah dimainkan orang Eropa manapun sampai-sampai sebuah babad Jawa telah mengulasnya.

Dia dianggap dalang yang berjasa meredam dan mengakhiri perang di antara Surakarta dan Yogyakarta yang tengah berseteru. Ia mengalihkan peperangan menjadi pesan damai lewat sebuah perjanjian di tahun 1755.

"Hartingh tidak pernah mengarang siapa saja lakonnya, dan tidak juga menulis skenarionya, tapi dia berlaku sebagaimana dalang memainkan wayang-wayangnya," imbuhnya.

Keluarga Eropa di Keraton Surakarta. (KITLV)

Tidak sendirian, Hartingh bersama dengan Belanda lainnya, Jacob Mossel, berupaya menempuh cara-cara manipulatif untuk meredam peperangan lewat diplomasi dan negoisasi dengan kedua belah pihak.

Pakubuwana II dan III yang kala itu telah mengalami sejumlah pemberontakan, dipaksa oleh Hartingh agar memberikan setengah dari wilayah kekuasaannya kepada para pemberontak, tidaklah lain adalah rivalnya, Mangkubumi beserta dengan Pangeran Sambernyawa, Raden Mas Said.

"Hartingh menegaskan jika Pakubuwana mau bernegoisasi dan memberi sebagian kekuasaannya, maka tidak akan ada penggulingan Susuhunan dalam kraton," jelasnya.

Pakubuwana III telah membayangkan dan merenungi akan permintaan dari Hartingh, di mana ia lebih memikirkan untuk berbagi rénte (uang pendapatan sewa) dengan Mangkubumi daripada kehilangan sama sekali —sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya.

Suasana di bawah pohon yang rindang sekitar alun-alun utara Keraton Surakarta. (KITLV)

Pada tanggal 9 Februari 1755, Nicholaas Hartingh telah tiba di kaki gunung Lawu, tepatnya di Desa Giyanti. Kini gilirannya bertemu dengan Mangkubumi yang telah mendirikan istana sementaranya di sana.

Hartingh mengunjungi secara pribadi ke kediaman Mangkubumi dengan hanya didampingi Kartabasa (Ki Bestam) sebagai penerjemah. Ia telah menjelaskan niat Pakubuwana III untuk menyerahkan kekuasaannya dengan mengikat suatu perjanjian damai. Hartingh meminta kesediaan Mangkubumi untuk menyetujuinya.

Setelah terlibat atas kesepakatan-kesepakatan, Mangkubumi dan Pakubuwana telah saling sepakat untuk mengikat sebuah perjanjian di Desa Giyanti, dalam Perjanjian Giyanti.

   

Baca Juga: Pameran Jayapatra, Lembar Kemenangan dari Yogyakarta untuk Indonesia

Baca Juga: Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura

Baca Juga: Peran Residen Sebagai Utusan Belanda di Keraton Yogyakarta Abad Ke-18

    

Hartingh telah memaksa keduanya dengan caranya, mendamaikan sejumlah perang dan pemberontakan yang terjadi selama beberapa tahun sebelumnya.

Berkat peran Kompeni di keraton, Hartingh dan sejumlah Belanda yang terlibat di dalamnya membuat sejarah baru di Jawa kala itu, di mana pembagian kekuasaan ditempuh secara damai dengan formal dan presisi.

Perannya mengubah paradigma pembagian wilayah yang selalu ditempuh dengan cara-cara radikal: perang dan sejumlah pemberontakan. 

Tentu, peran Belanda-Belanda di keraton melegitmasi hak-hak yang didapat oleh Belanda selama berkoloni di Jawa dengan kelanggengan kekerabatan dengan para pemimpin Jawa.