Belanda-Belanda di Balik Terbelahnya Surakarta dan Yogyakarta

By Galih Pranata, Rabu, 30 Maret 2022 | 07:02 WIB
Acara resepsi di Keraton Surakarta. (KITLV)

Pakubuwana III telah membayangkan dan merenungi akan permintaan dari Hartingh, di mana ia lebih memikirkan untuk berbagi rénte (uang pendapatan sewa) dengan Mangkubumi daripada kehilangan sama sekali —sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya.

Suasana di bawah pohon yang rindang sekitar alun-alun utara Keraton Surakarta. (KITLV)

Pada tanggal 9 Februari 1755, Nicholaas Hartingh telah tiba di kaki gunung Lawu, tepatnya di Desa Giyanti. Kini gilirannya bertemu dengan Mangkubumi yang telah mendirikan istana sementaranya di sana.

Hartingh mengunjungi secara pribadi ke kediaman Mangkubumi dengan hanya didampingi Kartabasa (Ki Bestam) sebagai penerjemah. Ia telah menjelaskan niat Pakubuwana III untuk menyerahkan kekuasaannya dengan mengikat suatu perjanjian damai. Hartingh meminta kesediaan Mangkubumi untuk menyetujuinya.

Setelah terlibat atas kesepakatan-kesepakatan, Mangkubumi dan Pakubuwana telah saling sepakat untuk mengikat sebuah perjanjian di Desa Giyanti, dalam Perjanjian Giyanti.

   

Baca Juga: Pameran Jayapatra, Lembar Kemenangan dari Yogyakarta untuk Indonesia

Baca Juga: Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura

Baca Juga: Peran Residen Sebagai Utusan Belanda di Keraton Yogyakarta Abad Ke-18

    

Hartingh telah memaksa keduanya dengan caranya, mendamaikan sejumlah perang dan pemberontakan yang terjadi selama beberapa tahun sebelumnya.

Berkat peran Kompeni di keraton, Hartingh dan sejumlah Belanda yang terlibat di dalamnya membuat sejarah baru di Jawa kala itu, di mana pembagian kekuasaan ditempuh secara damai dengan formal dan presisi.

Perannya mengubah paradigma pembagian wilayah yang selalu ditempuh dengan cara-cara radikal: perang dan sejumlah pemberontakan. 

Tentu, peran Belanda-Belanda di keraton melegitmasi hak-hak yang didapat oleh Belanda selama berkoloni di Jawa dengan kelanggengan kekerabatan dengan para pemimpin Jawa.