Nationalgeographic.co.id—Setinggi 26 meter dari permukaan air laut, Bukit Siguntang menjadi situs penting dalam menguak peradaban yang telah hidup selama berabad-abad lamanya di sana.
Retno Purwati Nadeak dalam jurnalnya, mengungkap tentang peranan penting situs Bukit Siguntang yang menjadi saksi kehadiran peradaban Sriwijaya dan cikal bakal lahirnya Palembang modern.
Retno menulis dalam jurnal Forum Arkeologi dengan judul "Bukit Siguntang: Peranannya dalam Agama Buddha Pada Masa Kerajaan Sriwijaya", dipublikasi tahun 2016.
Kitab Sejarah Melayu telah membuktikan eksistensi Bukit Siguntang yang bercerita tentang kehadiran Palembang adalah penggambaran dari peradaban yang hadir di sana.
"Kitab itu juga menceritakan turunnya makhluk setengah dewa ke Bukit Siguntang dan makhluk ini di kemudian hari menurunkan raja-raja puak Melayu di Sumatra dan Semenanjung Malaysia," tulis Retno.
Di kalangan para arkeolog, Bukit Siguntang dikenal sebagai situs keagamaan, karena di tempat ini ditemukan fondasi bangunan kuno yang dibuat dari bata, arca Buddha berukuran besar dari batu granit.
Selain itu juga, ditemukan beragam arca-arca buddhistis yang berukuran lebih kecil, pecahan-pecahan tembikar, dan pecahan-pecahan keramik dari masa Dinasti Tang abad ke-7-10 M.
"Dengan adanya sejumlah temuan tersebut, dapat diduga bahwa kekuasaan Kerajaan Sriwijaya berlangsung dari abad ke-7 sampai abad ke-14 Masehi," lanjutnya.
Bukit Siguntang, yang lekat dengan penemuan arkeologis, dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sriwijaya ini merupakan situs keagamaan, khususnya agama Buddha.
Lokasi ini juga dijadikan sebagai tempat ziarah bagi para pemeluk agama Buddha di masa lalu. Peran sebagai tempat ziarah ini tampaknya terus berlanjut sampai sekarang, menjadi budaya masyarakat Palembang modern.
Situs ini juga dikaitkan dengan kelahiran raja-raja yang kemudian berkuasa di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Patani, Thailand Selatan.
Bukit yang dipenuhi taman dan pepohonan besar ini juga dipercaya sebagai kompleks permakaman raja-raja Melayu. Pada bagian puncak bukit terdapat tujuh makam di bukit ini yang menurut penduduk lokal, dikaitkan dengan tokoh-tokoh raja, bangsawan dan pahlawan Melayu-Sriwijaya.
"Bahkan, pada masa Sultan Mahmud Badaruddin bin Sultan Bahauddin, Bukit Siguntang pernah dijadikan sebagai tempat untuk mengambil sumpah bagi penduduknya yang sedang bertikai, agar berdamai," terusnya.
J.L. van Sevenhoven dalam jurnal Retno, menyebut bahwa lokasi dilakukannya persumpahan tersebut adalah di makam raja Segentar Alam. Bahkan, menurut Wolters, Bukit Siguntang merupakan jantung bagi Kerajaan Sriwijaya.
Baca Juga: Asal-Usul Taman Nasional di Indonesia, Berawal dari Zaman Sriwijaya
Baca Juga: Legenda Bajak-bajak Laut Sriwijaya yang Meraja di Selat Malaka
Baca Juga: Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan
Bukit Siguntang dan sekitarnya merupakan titik pertemuaan berbagai komunitas pada masa itu, serta tempat mengungkapkan rasa kegembiraan atas kemenangan perjalanan suci Raja Sriwijaya dan pengikutnya.
Luapan kegembiraan raja tidak tampak pada puncak bukitnya, melainkan di lereng-lereng perbukitannya, tepatnya di Kedukan Bukit, tempat dibangunnya wanua.
"Peran penting Bukit Siguntang ini juga diperkuat dengan pemberitaan I-tsing yang menyebutkan, bahwa Sriwijaya sebagai pusat ajaran Agama Buddha di Palembang," sambungnya.
I-tsing juga menyebutkan, bahwa di Sriwijaya tinggal lebih dari 1.000 bhiksu dan menyarankan agar para pendeta yang ingin belajar ke India sebaiknya datang dulu ke Sriwijaya untuk belajar di sana.