Senjakala Bissu Bugis, Akibat Purifikasi Agama dan Komersialisasi?

By Tri Wahyu Prasetyo, Jumat, 1 April 2022 | 08:00 WIB
Bissu Puang Matoa Saidi. Menurut Syamjurijal, peneliti BRIN, perlu memikirkan strategi untuk membuat para generasi muda tertarik melanjutkan tradisi Bissu. Sebab bila tidak ada generasi penerus, artinya tradisi Bissu akan punah. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Keberadaan Bissu sebagai tokoh spiritual masyarakat suku Bugis, kini berada pada senjakala. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat keberadaan Bissu merupakan kearifan Bugis yang perlu dijaga dan dilestarikan.

LAPAR SULSEL (Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat Sulawesi Selatan) menggelar diskusi daring pada 29 Maret 2022, bertajuk “Senjakala Peran Bissu dalam Kebudayaan Bugis?” Narasumber dalam diskusi ini adalah Bissu Eka Segeri, Puang Matoa Bissu Ancu, Prof. DR. Hj. Nurhayati Rahman, MS, dan Dr. Syamsurijal Adh'ham, M. Si.

Seorang Bissu dari wilayah Sageri, Eka, bercerita bahwa perjalanan menjadi seorang Bissu saat ini bukanlah perkara mudah. Ketika masih menjadi calabai, perlu berbagai upaya agar dirinya dapat diterima di dalam lingkungan masyarakat dan keluarga.

Bissu Eka mengaku, bahwa dirinya sedih ketika melihat eksistensi Bissu yang kian tergeser. “Rasanya berat sekali untuk mempertahankan kebissuan di Segeri,” ungkap Bissu Eka.

Ia berpendapat, hal tersebut terjadi karena adanya pergeseran nilai –nilai kebudayaan dan adanya pengaruh-pengaruh dari kelompok agama tertentu. Mereka sering melabeli Bissu sebagai orang yang musyrik, menyalahi kodrat, dan nada-nada sumbang lainya. “tapi kita terus jalan apa adanya, dan sampai saat ini kami masih bertahan,” imbuhnya.

Jumlah Bissu di wilayah Sageri saat ini tersisa tiga orang. Apabila dilihat dari penduduk Segeri yang berjumlah lebih dari 20 ribu, ekistensi Bissu sangatlah miris. Terdapat beberapa penyebab yang menjadi biang atas krisisnya Bissu di daerah Sulawesi Selatan.

Ketua LTNNU Sulsel sekaligus peneliti BRIN, Syamsurijal, mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang membuat tergesernya Bissu di tanah kelahirannya sendiri. “Saat ini Bissu menghadapi permasalahan yang kompleks,” ujar Syamsurijal.

Dia juga mengatakan, eksistensi Bissu saat ini berada di dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, keberadaan Bissu dibutuhkan oleh masyarakat untuk tradisi-tradisi tertentu atau sebagai ajang pariwisata. Namun disisi lain, eksistensi Bissu dilucuti oleh sistem dan beberapa pihak lain, “ia dibutuhkan, tetapi sekaligus diabaikan,” imbuhnya.

Purifikasi Agama

Syamsurijal mengungkapkan, ada beberapa kelompok-kelompok agama yang menginginkan pemurnian agama. Berkembangnya kelompok-kelompok puritan ini juga menginginkan tersingkirnya Bissu dengan tuduhan kelompok sesat, musyrik, kafir, dan sebagainya.

“Ada cerita orang-orang tidak mau bertemu dengan Bissu, karena takut nanti salatnya tidak diterima selama 40 hari,” ujar Syamsurijal.

Keberadaan Bissu di Sulawesi Selatan berada di ambang kepunahan. Penyebabnya terdapat beberapa hal, seperti purifikasi agama dan komersialisasi. (Wikimedia Commons)