Seiring berkembangnya kelompok puritan dan masifnya penyebaran ajaran kelompok tersebut, membuat keberadaan Bissu semakin terpinggirkan. Secara kebudayaan, gerakan mereka berhasil mempengaruhi masyarakat, sehingga orang-orang Sulawesi Selatan semakin menjauhi budaya-budaya lokal mereka sendiri.
“Pada saat terjadi bencana gempa bumi di Palu, tidak sedikit orang yang menganggap ritual-ritual lokal sebagai biang keladinya.”
Syamsyurijal menyayangkan, acapkali kelompok-kelompok puritanisasi ini mendapatkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi kelompok tersebut, namun menjadi angin ribut bagi komunitas kebudayaan lokal.
Komersialisasi Bissu
“Mulanya Bissu adalah milik masyarakat Bugis,” ujar Syamsurijal. “Segala kebutuhan dan hajat hidupnya dipenuhi oleh seluruh masyarakat.”
Sayangnya, tradisi serupa sudah tidak berjalan kembali seperti sediakala. Seperti yang pernah dibahas oleh National Geographic Indonesia: Bissu: Kearifan Bugis Terbungkam, Kini Mendekam dalam Liminalitas.
Bergesernya nilai-nilai tradisi tersebut, memaksa Bissu untuk mencari jalan keluar agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu hal yang dilakukan adalah menjadi pelaku kesenian di panggung-panggung pertunjukan. “Ia dijadikan komoditi untuk dipertontonkan di mana-mana,” terang Syamsurijal
Hal tersebut menciptakan arena persaingan diantara para Bissu. Alhasil, bagi mereka yang tidak mampu memberikan suguhan terbaik, akan menjadi orang-orang kalah dan tersingkir. Hal ini kemudian membuat para Bissu yang kalah bersaing memilih untuk mencari profesi lain demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Baca Juga: Puang Matoa Saidi, Bissu yang Melegenda karena Mempertahankan Tradisi
Baca Juga: Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan