Nationalgeographic.co.id—Puang Upe, salah satu bissu dari Segeri Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, telihat risau ketika menceritakan regenerasi para bissu di masa mendatang. Masyarakat lokal di daerahnya terlihat enggan untuk memesan mereka lagi dalam ritual-ritual adat.
Puang Upe pun bertanya-tanya, apakah masyarakat di era ini sudah lupa pada dewata yang sudah memberi hidup?
Itulah ungkapan Puang Upe, usai mementaskan Tarian Mabissu, tarian penghormatan pada dewata, Minggu malam (8/7), di Institut Seni Indonesia (ISI), Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan bahasa bugis, Puang Upe menceritakan tentang keberadaan komunitas bissu di daerah Segeri Mandalle yang kian menyusut. Dari sebelumnya sekitar 40 orang, kini hanya menjadi 12 orang saja.
Katanya, sebagian bissu dibunuh dan sebagian lagi melepaskan atribut bissu untuk berpindah ke profesi lain seperti petani atau perias pengantin. “Saat ini kami tidak lagi diistimewakan. Kami tidak lagi hidup mewah bersama raja, melainkan harus hidup mandiri dengan menunggu sumbangan masyarakat yang akan menyelenggarakan adat. Ironisnya, upacara ritual jarang diadakan,” keluh Puang Upe.
Tidak semua orang mengenal pendeta agama bugis kuno ini. Zaman pra Islam, bissu memiliki peranan istimewa karena merupakan operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara tradisional. Untuk itulah, bissu harus menjauhi hal–hal yang bersifat duniawi.
Bissu memiliki dua elemen gender manusia yakni laki-laki dan perempuan. Artinya, bissu diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat perempuan. Mereka akan berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminin, namun tetap memakai atribut maskulin.
“Tidak semua orang bisa menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan gaib lewat mimpi. Setelah mendapat bisikan ini, orang tersebut harus melapor pada pemimpin bissu atau puwang matowa untuk ditahbiskan,” kata Puang Upe.
Bissu memiliki kedudukan lebih tinggi dari raja karena menjadi penasehat raja dan dewan adat. Oleh karenanya kebutuhan bissu mendapat tunjangan hidup raja dari sumbangan masyarakat.
Sebelum ajaran Islam ke Sulawesi pada awal abad XVII, bissu berperan penting dalam upacara adat seperti upacara pelantikan raja, kelahiran, kematian, pertanian. Dalam upacara adat itu, mereka akan menarikan Tari Mabbisu atau tarian mistis dengan memutari benda yang dikeramatkan yang diyakini sebagai tampat roh leluhur beristirahat.
Puncak dari Tarian Mabbisu adalah gerakan maggiri yakni menusukkan keris ke bagian tubuh seperti perut, telapak tangan, perut, dan tenggorokan. Masyarakat Sulawesi percaya, ketika bagian tubuh bissu yang ditusuk keris tidak berdarah, maka roh leluhur sudah merasuki bissu. Dengan demikian masyarakat percaya permohonan mereka didengar oleh leluhur dan harapannya dewata memberikan berkat kepada mereka.
Pesatnya agama Islam di Sulawesi membuat peranan bissu mulai ditinggalkan. Mereka tidak lagi menetap di kerajaan, melainkan berkumpul dengan masyarakat sekitar. Bahkan, saat pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Mudzakar, bissu–bissu ini dibunuh serta dipaksa untuk menjadi laki-laki sejati sesuai ajaran agama.
“Saat ini ada dua buah kubu bissu. Kubu pertama adalah bissu yang benar-benar mempertahankan tradisi leluhur, dan bissu kedua yang melepaskan nilai kesrakalan,” ujar Puang Upe yang sampai saat ini ikut dalam kubu pertama.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR