Senjakala Bissu Bugis, Akibat Purifikasi Agama dan Komersialisasi?

By Tri Wahyu Prasetyo, Jumat, 1 April 2022 | 08:00 WIB
Bissu Puang Matoa Saidi. Menurut Syamjurijal, peneliti BRIN, perlu memikirkan strategi untuk membuat para generasi muda tertarik melanjutkan tradisi Bissu. Sebab bila tidak ada generasi penerus, artinya tradisi Bissu akan punah. (Wikimedia Commons)

Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan

    

Dalam keadaan seperti ini, seharusnya pemerintah hadir untuk memberikan bantuan kepada para Bissu yang mengalami kesulitan secara ekonomi. Menurut Syamsurijal, pemerintah sepertinya telah mengabaikan keberadaan Bissu sebagai komunitas lokal.

Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh para Bissu, mengakibatkan terhambatnya generasi penerus Bissu. “Generasi muda enggan melirik, sebab mereka melihat bahwa tidak ada sesuatu yang didapatkan secara ekonomi, tidak ada yang bisa menjamin kehidupan mereka.”

Regenerasi Bissu

Proses penerimaan Bissu setidaknya dapat dibagi menjadi dua. Pertama, para calon Bissu biasanya mendapatkan panggilan melalui mimpi.

“Namun tidak hanya ia yang bermimpi, puang matoa, puang lolo dan beberapa Bissu lain juga mendapatkan mimpi tentang kehadiran Bissu baru,” ujar Bissu Eka.

Kemudian ada yang menjadi Bissu karena dititipkan oleh orang tuanya. Keinginan ini bukan semata-mata tanpa alasan, tetapi orang tua telah melihat bakat anaknya sejak kecil.

Sayangnya dewasa ini, ketertarikan anak muda untuk melestarikan tradisi Bissu telah pudar. Menurut Syamsurijal, perlu memikirkan strategi untuk membuat para generasi muda tertarik melanjutkan tradisi Bissu. Sebab bila tidak ada generasi penerus, artinya tradisi Bissu akan punah.

“Perlu direnungkan bagaimana proses regenerasi, apakah harus tetap mempertahankan cara-cara kuno untuk menarik generasi baru? Atau menggunakan cara-cara baru agar lebih menarik?” pungkas Syamsurijal.