Ketika Pengolahan Limbah Tahu Indonesia Menarik Perhatian Dunia

By Ricky Jenihansen, Rabu, 6 April 2022 | 09:00 WIB
Produksi tahu (Unep dtu)

Nationalgeographic.co.id—Di banyak negara, tahu atau disebut juga tofu dalam bahasa Inggris dikenal sebagai makanan yang lezat, biasanya menjadi camilan favorit. Tapi di Indonesia, tahu bukanlah makanan yang spesial, apalagi hanya dijadikan camilan semata. Tahu menjadi sumber protein utama dan bahkan ada banyak orang yang bergantung dan menjadikan tahu sebagai penghidupan utama.

Jika di luar sana tahu menjadi makanan yang tidak mudah untuk ditemukan, di Indonesia dapat kita jumpai di banyak tempat. Di pasar-pasar, toko-toko, pedagang kecil bahkan hingga mereka yang memproduksi tahu. Terlepas dari begitu 'biasanya' tahu di Indonesia, tapi ternyata ada satu hal tentang tahu yang belakangan menjadi begitu menarik bagi dunia, tahu dapat menjadi sumber energi bersih.

Nick Perry, jurnalis AFP (Kantor Berita Prancis) pernah melaporkan kondisi penduduk lokal yang tinggal di Kalisari, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. Laporan tersebut telah menarik perhatian dunia dan bahkan dikutip dan dibagikan oleh banyak media di banyak negara.

Perry mengatakan, penduduk di Kalisari telah beradaptasi cepat dengan program yang dikelola pemerintah untuk mengubah air limbah produksi tahu menjadi biogas yang dapat dipompa langsung ke rumah-rumah. Sehingga nantinya air limbah produksi tidak lagi menjadi limbah dan berubah menjadi energi hijau sekaligus membersihkan lingkungan.

Hal itu tentu menjadi solusi di daerah terpencil di Indonesia. Jika selama ini sumber energi untuk masak atau penerangan menggunakan kayu bakar dan gas subsidi yang distribusinya seringkali terlambat, maka pengolahan limbah tahu menjadi energi tersebut pastilah solusi yang hebat.

Tahu seperti kita yang kita tahu, telah dibuat dengan cara yang sama dari generasi ke generasi. Meski prosesnya cukup sederhana tapi memakan waktu dan membutuhkan banyak air.

Diawali dengan merendam dan menggiling kedelai untuk memisahkan susu kedelai dari bubur kedelai. Langkah itu memakan waktu paling lama karena kacang harus direndam selama berjam-jam.

Setelah terpisah melalui penyaringan, protein dan minyak dipisahkan dari susu kedelai. Bahan kimia koagulan atau zat yang berfungsi untuk menggumpalkan, ditambahkan untuk menguatkannya. Setelah terbentuk, maka tahu siap dipotong. Pada dasarnya tahu adalah susu kedelai yang menggumpal.

    

Baca Juga: Pemanfaatan Limbah, Upaya Menyelamatkan Kehidupan Bumi dari Kehancuran

Baca Juga: Masih Mengandung Limbah Nuklir, Apa yang Terjadi Jika Chernobyl Dibom?

Baca Juga: Bagaimana Cara Limbah Kopi Menumbuhkan Kembali Hutan Hujan Kosta Rika?

Baca Juga: LIPI Tawarkan Solusi untuk Masalah Limbah Masker Sekali Pakai

   

"Meskipun sederhana dalam prakteknya, tapi sejumlah besar air dibutuhkan untuk membuat tahu. Sekitar 33 liter atau 8 galon air dibutuhkan untuk setiap kilogram bubuk kacang kedelainya," Perry menjelaskan dalam laporannya.

Menyadari hal tersebut, para peneliti dari pemerintah Indonesia menemukan bahwa air limbah ini dapat diubah menjadi biogas. Hal itu bisa dilakukan jika jenis bakteri tertentu ditambahkan ke dalamnya. Sederhana memang, tapi setiap hari air buangan dari produksi tahu terus dihasilkan karena daerah Kalisari adalah penghasil tahu di Indonesia.

Selain menciptakan sumber energi hijau bagi penduduk setempat, menggunakan semua air limbah itu juga membantu lingkungan setempat untuk tetap bersih. Pembuat tahu di sana dapat menikmati energi sekaligus terbebas dari limbah tahu yang dapat berbau busuk.

"Ribuan liter air limbah yang dikeringkan dari tahu mentah pernah dipompa setiap hari dari pabrik di sekitar desa ke sungai terdekat, mengotori saluran air dan mencemari sawah di hilir," lapor Perry.

Tanpa semua air limbah tersebut, para petani telah melihat peningkatan hasil padi dan bau busuk yang menyertai produksi tahu telah meninggalkan daerah tersebut.Kalisari diharapkan menjadi desa hijau pertama di Indonesia, mengingat Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi yang tinggi.

Jika ini berhasil dan berkelanjutan, menurut Perry, itu dapat mengubah cara orang mendapatkan energi yang dibutuhkan di Indonesia. Dan ketika ini berhasil, tidak ada alasan mengapa program serupa tidak dapat menjangkau seluruh wilayah, secara dramatis mengubah cara orang mendapatkan energi yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan mereka.