"Puasa menyebabkan rasa lapar atau stres. Sebagai tanggapan, tubuh melepaskan lebih banyak kolesterol, memungkinkannya memanfaatkan lemak sebagai sumber bahan bakar, bukan glukosa. Ini menurunkan jumlah sel lemak dalam tubuh," kata Dr. Horne.
"Ini penting karena semakin sedikit sel lemak yang dimiliki tubuh, semakin kecil kemungkinannya mengalami resistensi insulin, atau diabetes."
Studi ini juga mengonfirmasi temuan sebelumnya tentang efek puasa pada hormon pertumbuhan manusia (HGH), protein metabolik. HGH bekerja untuk melindungi otot tanpa lemak dan keseimbangan metabolisme, respons yang dipicu dan dipercepat oleh puasa. Selama periode puasa 24 jam, HGH meningkat rata-rata 1.300 persen pada wanita, dan hampir 2.000 persen pada pria.
Dalam uji coba mereka, para peneliti melakukan dua studi puasa terhadap lebih dari 200 individu, baik pasien maupun sukarelawan sehat yang direkrut di Intermountain Medical Center. Uji klinis kedua diikuti 30 pasien lain yang hanya minum air dan tidak makan apa pun selama 24 jam.
Mereka juga dipantau saat makan makanan normal selama periode 24 jam tambahan. Tes darah dan pengukuran fisik diambil dari semua untuk mengevaluasi faktor risiko jantung, penanda risiko metabolik, dan parameter kesehatan umum lainnya.
Meski demikian, menurut Horne, diperlukan lebih banyak penelitian seperti ini untuk sepenuhnya menentukan reaksi tubuh terhadap puasa dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Dr Horne percaya bahwa puasa suatu hari nanti bisa diresepkan sebagai pengobatan untuk mencegah diabetes dan penyakit jantung koroner.