Tabir Mimpi Dipanagara Mendorong Meletusnya Perang Jawa 1825

By Galih Pranata, Senin, 18 April 2022 | 07:00 WIB
Lukisan karya Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dilukis pada tahun 1857 berc (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id—Berbagai kemelut yang dihadapi oleh masyarakat Jawa akibat dampak dari imperialisme Belanda, membuat mereka mengharapkan kehadiran sang juru selamat—ratu adil di tengah-tengah masyarakat.

"Selama bertahun-tahun masyarakat hidup di dalam penderitaan yang mengakibatkan mereka harus hidup dengan sebagian kebutuhan yang tidak berhasil mereka penuhi," tulis Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro.

Norbertus Gilang menulis dalam skripsinya yang berjudul Peran Masyarakat Dekso dalam Perang Jawa 1825-1830. Skripsinya dipertahankan pada tahun 2013.

Melihat kondisi yang mengkhawatirkan dan serangkaian keprihatinan tersebut, dipahami oleh Pangeran Diponegoro yang telah lama keluar dari istana Mataram dan hidup di tengah masyarakat biasa.

Ia memutuskan keluar dari istana Mataram karena jiwa asketisnya sebagai seorang muslim yang sudah tak kerasan dengan budaya keraton yang kian berbaur dan bercampur dengan budaya Barat.

Ia juga dihadapkan pada dua sisi, dimana saat ia mulai tak cocok dengan kehidupan di dalam istana, Dipanagara juga melihat sebegitu menderitanya masyarakat di luar istana.

Beberapa kali Dipanagara terlarut dalam renungannya, menyibukkan pikirannya dengan sejumlah keresahan yang ia rasakan.

Diponegoro telah tiba di Magelang dalam mempersiapkan diri untuk berperang. (JP de Veer/Wikimedia)

"Beberapa tahun sebelum pecahnya Perang Jawa, Pangeran Dipanagara sering menghabiskan hari-harinya untuk bertapa dan nenepi —i'tikaf dalam istilah Islam— di berbagai tempat," jelas Norbertus Gilang.

Kesendiriannya untuk bertapa dan nenepi ia lakukan di Gua Secang, Gua Selarong, hingga pantai selatan. Ia begitu disibukkan dengan kehidupan kebatinan.

Setiap bulan puasa, untuk mengisi kebutuhan ilmu kebatinan, ia bahkan turun sampai ke Pantai Selatan untuk bertemu dengan penguasa laut selatan.

Dalam Babad Dipanagara disebutkan, lima belas bulan sebelum meletusnya Perang Jawa, ia mengalami serangkaian mimpi dan penampakan-penampakan, lengkap dengan penjelasannya.

Perang Jawa sampai di Gawok, Sukoharjo, Jawa Tengah. (JP de Veer/Wikimedia)

Tabir mimpi Dipanagara mengarahkannya pada penjelasan akan takdirnya kelak sebagai sang Ratu Adil di Jawa.

Berbagai penampakan inilah yang semakin menguatkan Pangeran Dipanagara yang mendorongnya bersemangat menjadi Ratu Adil yang telah lama diharapkan oleh masyarakat Jawa.

Peter Carey menulis dalam bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) yang diterjemahkan oleh Bambang Murtianto dan diterbitkan Kompas pada tahun 2015.

Dalam bukunya, Peter Carey juga mengulas akan adanya sosok yang begitu menarik, menampakkan diri dalam mimpi-mimpi Pangeran Dipanagara.

  

Baca Juga: Perenungan Pangeran Dipanagara pada Alam: Siasat Hidup Ratu Adil

Baca Juga: Riwayat Sewa Tanah Keraton Yogyakarta Penyulut Perang Dipanagara

Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

Baca Juga: Dipanagara, Benarkah Sebuah Nama Pembawa Sial?

 

Penampakan-penampakan ini dikatakan Carey menarik karena khas dengan unsur tradisi dalam kepercayaan Islam-Jawa. Sosok ini digambarkan dengan seorang muslim yang menyerukan untuk meyakinkan Dipanagara sebagai Ratu Adil.

Dalam mimpinya itu, Dipanagara dijemput oleh seseorang berpakaian haji dan mimpi itu diperkirakan terjadi pada malam ke-21 Ramadhan atau malam slikur.

"Malam slikur memang dirayakan secara istimewa di Jawa karena berkaitan dengan malam kemuliaan kitab suci Al Qur'an yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW," sambung Norbertus Gilang.

Satu lagi penampakan yang semakin meyakinkan Dipanagara adalah kemunculan wali wudhar dalam mimpi Dipanagara. Wali wudhar adalah para wali yang menyampaikan amanah dari Allah SWT.

Para wali wudhar itu mengajak Dipanagara untuk bergabung, menjadi wali kesembilan yang telah Allah percayakan kepada Diponegoro sebagai juru selamat di antara penderitaan rakyat.

Berdasar tabir mimpi-mimpi inilah, dia lekas bangun dan meyakinkan dirinya untuk memimpin perang terbesar sepanjang sejarah Jawa yang dimulai pada Juli 1825.