Bucephalus, Kuda Kesayangan Alexander yang Dijadikan Nama Kota

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 14 April 2022 | 08:00 WIB
Sebuah Mozaik di Pompeii menggambarkan Alexander Agung menunggangi Bucephalus, kuda kesayangannya dalam Pertempuran Issus. (Museo Archeologico Nazionale/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Alexander Agung dipercayai oleh ayahnya, Philip II yang kelak akan menjadi penerus takhta Makedonia. Dalam riwayat perjuangannya menaklukan Persia, ia memiliki kuda tunggangan yang begitu di sayanginya.

Bucephalus nama kuda itu. Secara harfiah, namanya diambil dari bahasa Yunani "bous" yang berarti lembu, dan "kephalos" yang berarti kepala. Summer Trentin, sejarawan bidang Yunani kuno di University of Colorado Boulder berpendapat, nama itu mungkin merujuk sifat Bucephalus yang keras kepala.

Awalnya, Bucephalus dibawa ke Makedonia oleh Philoneicus dari Thessaly untuk ditawarkan kepada Philip II pada 346 SM di sebuah arena. Kuda itu begitu liar dan sulit ditaklukkan untuk ditunggangi siapa pun. Philip II geram karena hewan yang ditawari ini sulit dikendalikan dan menyuruh Philoneicus membawanya pergi.

Sontak, Alexander yang saat itu masih muda menahannya dan berkata, "Betapa hebatnya mereka kehilangan kuda karena kekurangna pengetahuan dan keberanian untuk mengendalikannya."  Alexander ternyata menantang kuda itu.

Baca Juga: Lima Tokoh Besar dalam Sejarah yang Jenazahnya Tidak Pernah Ditemukan

Baca Juga: Riwayat Kedekatan Guru dan Murid: Aristoteles dan Alexander Agung

Baca Juga: Arkeolog Yunani Mengeklaim Temukan Makam Olympias, Ibu Alexander Agung

   

Plutarkos, sejarawan dan penulis biografi di masa Yunani dalam catatannya menulis, Philip II yang awalnya tidak menghiraukan kuda itu, langsung terkesima dengan seruan putranya.

Philip II pun bertanya pada Alexander "Apa kamu kira kau lebih pintar dengan mencela mereka yang lebih tua darimu (orang-orang yang berusaha mengendalikan Bucephalus), seolah-olah kamu mampu menjinakkannya daripada mereka?".

"Dan jika kamu tidak bisa, berapa harga yang kamu sanggup bayar untuk sikap kurang ajarmu itu?", kata ayahnya. Alexander hanya menjawab "seharga kuda itu”, jawab anak laki-laki itu. Lantas, orang-orang di arena di Pella--ibu kota Makedonia-- yang ada di sekitar Alexander dan Philip tertawa mendengar keangkuhan itu.

Singkatnya, Alexander langsung mendekati kuda itu dengan tenang. Dia menyadari bahwa kuda itu takut pada bayangannya sendiri, suatu hal yang tidak disadari orang lain.

Alexander mengendalikan Bucephalus yang liar untuk menjadi kuda jinak yang menemaninya sampai ke India. (Walter Crane/Wikimedia)

Dengan tenang, ia membawa Bucephalus menghadap ke arah matahari sehingga bayangannya ada di belakang, dan perlahan-lahan tangannya memegang kendali Alexander.  Dia pun berhasil menungganginya, membuat orang-orang yang tadinya menertawakan, bersorak atas keberhasilannya.

Donald Wasson, sejarawan Lincoln College yang membahas sejarah kuno dan abad pertengahan megatakan, penjinakan Bucephalus yang liar ini adalah titik balik dalam kehidupan sang pangeran muda itu. Momen ini jadi caranya menjadi percaya diri untuk melanjutkan tekad dalam kampanye penaklukan Asia di kemudian hari.

Plutarkos yang dikutip Wasson di World History menulis, Alexander kembali ke hadapan arena dan turun di hadapan kedua orangtuanya. Philip II berkata, "Wahai putraku, lihatlah kerajaan yang setara dan layak untuk dirimu sendiri, karena Makedonia ini terlalu kecil untukmu.".

Sejak itulah Alexander dan Bucephalus tidak bisa dipisahkan karena dia menyayanginya dan hanya dialah yang bisa mengendarainya.

Singkatnya, Philip II tewas tahun 336 SM dan digantikan oleh Alexander Agung. Di atas punggung Bucephalus, Alexander bertempur untuk menaklukkan negara-kota di Yunani yang memberontak setelah kematian Philip II. Kota-kota itu dengan mudahnya ditaklukan, mulai dari Thebes hingga Athena.

Setelah negara-kota di Yunani tunduk dan disatukan dalam persatuan untuk melawan Persia, ekspedisi ke Asia pun berjalan. Alexander terus bersama Bucephalus di Persia, Mesir, dan India. 

  

Baca Juga: Lima Tokoh Besar dalam Sejarah yang Jenazahnya Tidak Pernah Ditemukan

Baca Juga: Riwayat Kedekatan Guru dan Murid: Aristoteles dan Alexander Agung

Baca Juga: Seorang Petinggi Mesir Mengklaim Temukan Makam Alexander Agung

Baca Juga: Temuan Alat Selam Diving Bell oleh Aristoteles untuk Alexander Agung

  

Hubungan emosionalnya pada Bucephalus terjadi ketika Alexander tahu kudanya diculik saat beristirahat. Alexander murka dan mengancam untuk menebang setiap pohon, menghancurkan pedesaan, dan membantai setiap penduduk di sekitarnya. Kemurkaan ini membuat penculik mengembalikan Bucephalus dan memohon ampun.

Namun kebersamaan Alexander dan Bucephalus tidak berlangsung lama. Bucephalus tewas dalam pertempuran di tepi Sungai Hydaspes (Jhelum) di daerah Punjab, Pakistan kini, pada tahun 326 SM.  Pertempuran itu dimenangkan oleh Alexander bersama para sekutu dari dataran India yang mau bekerja sama untuk menghadapi Raja Porus dan bala tentara gajahnya.

Namun, pendapat lain ada pada Onesicritus yang mengaku dirinya komandan padahal hanya juru mandi Alexander. Ia menulis dan dikutip Plutarkos, bahwa Bucephalus meninggal karena usia tua.

Alexander yang berkabung atas kepergian Bucephalus akhirnya mendirikan kota sebagai memori untuk kuda kesayanganya itu. Kota itu dinamai Bucephala, atau Bucephalia, atau Alexandria Bucephalous, di Sungai Jhelum, sebelah timur Sungai Indus.