Mengenal Afasia, Gangguan pada Otak yang Diderita Bruce Willis

By Maria Gabrielle, Kamis, 14 April 2022 | 09:00 WIB
Bruce Willis saat menghadiri San Diego Comic Con 2018. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Aktor papan atas Hollywood, Bruce Willis memutuskan untuk pensiun dari dunia akting. Berdasarkan unggahan sang putri, Rumer Willis di akun Instagramnya akhir Maret 2022 diketahui pemain film Die Hard itu didiagnosis mengidap afasia.

Kondisi ini berdampak pada kemampuan kognitif sang aktor. Pusat medis akademik, Mayo Clinic pada laman resminya menjelaskan bahwa afasia merupakan suatu kondisi yang memengaruhi kemampuan untuk berkomunikasi.

Mulai dari kemampuan berbicara, cara menulis serta memahami bahasa lisan dan tulisan. Afasia biasanya terjadi tiba-tiba setelah strok atau cedera kepala.

Namun, afasia juga bisa datang secara bertahap dari tumor otak yang tumbuh lamat ataupun penyakit yang menyebabkan kerusakan permanen dan progresif. Tingkat keparahannya tergantung pada sejumlah kondiri, termasuk penyebab dan tingkat kerusakan otak.

Dilansir dari SciTechDaily, seorang asisten profesor behavioral neurology bernama Dr. Borna Bonakdarpour di Fakultas Kedokteran Universitas Northwestern Feinberg mengatakan penyebab afasia paling umum di Amerika Serikat karena strok.

Lalu, apa perbedaan antara afasia onset mendadak dan afasia progresif primer (PPA)?

“Afasia progresif primer (PPA) biasanya disebabkan oleh penyakit Alzheimer atau degenerasi temporal frontal,” ujar Dr. Borna Bonakdarpour.

“Orang-orang ini dapat mengalami kesulitan mengekspresikan diri mereka seperti yang mereka dapat setelah strok. Atau mereka mungkin berbicara dengan sangat lancar tetapi tidak memahami orang lain,” lanjutnya.

Unggahan putri Bruce Willis, Rumer Willis di akun Instagramnya. (Instagram/@rumerwillis)

Profesor kedokteran fisik dan rehabilitasi, Leora Cherney, mengatakan bahwa penting untuk membedakan antara afasia progresif primer dan afasia onset mendadak. Menurutnya, orang dengan afasia progresif primer mengalami gangguan bahasa yang memburuk saat defisit kognitif mulai muncul dan berkembang.

“Mereka yang mengalami afasia onset mendadak dapat berharap untuk meningkatkan keterampilan bahasa mereka dari waktu ke waktu dan dengan terapi wicara dan bahasa. Oleh karena itu, akan ada perbedaan dalam pendekatan terbaik untuk pengobatan dan manajemen jangka panjang dari gangguan ini,” jelasnya.

Penting untuk diketahui bahwa afasia bukan gangguan intelektual ataupun mental, kata Cynthia Thompson, Profesor Ilmu Komunikasi Ralph and Jean Sundin di School of Communication. Beliau mengatakan orang dengan afasia mampu melakukan banyak aktifitas fungsional yang tidak bergantung pada bahasa.

Hanya saja, bahasa diperlukan untuk tugas sehari-hari seperti berbicara di telepon dan mengobrol dengan teman. Ini juga dibutuhkan dalam banyak jenis pekerjaan, afasia sering mengakibatkan isolasi sosial, kehilangan pekerjaan, dan penurunan kualitas hidup.

“Untuk seorang aktor, seperti Bruce Willis, bahasa sangat penting. Sehingga memiliki afasia sayangnya akan berdampak pada kemampuan untuk tampil,” ujar Cynthia Thompson.

   

Baca Juga: Begini Cara Kerja Otak yang Membuat Anda Menjadi Kecanduan Kafein

Baca Juga: Ada Banyak Saluran Kecil di Antara Kepala dari Tengkorak ke Otak

Baca Juga: Teka-teki dalam Otak Kita, Mengapa Banyak yang Kita Ingat dan Lupakan?

    

Lebih lanjut, Aaron Wilkins selaku asisten profesor klinis dan ahli patologi wicara di Roxelyn and Richard Pepper Department of Communication Sciences and Disorders mengungkapkan pendapatnya terkait kasus afasia yang berkembang lambat dan semakin memburuk.

Menurutnya terapi wicara membantu individu untuk mempelajari kompensasi untuk berkomunikasi secara berbeda dari komunikasi tradisional yang perlahan hilang. Sementara itu, afasia yang mendadak karena kejadian seperti stroke, terapi wicara membantu individu untuk meningkatkan bahasa.

Lantas, bagaimana cara berkomunikasi dengan penderita afasia?

“Teman dan anggota keluarga dapat membantu. Tetapi beberapa orang tidak mengerti, jadi mereka membicarakan pasien dan pasien menjadi sedih. Mereka mungkin hanya memproses lebih lambat,” ujar Dr. Borna Bonakdarpour.

Maka dari itu penting bagi orang-orang yang ada di sekitar mereka (orang dengan afasia) untuk berbicara perlahan dan memberikan waktu untuk berbicara. Terkadang pasien hanya ingin tantangan untuk memunculkan kata-kata itu sendiri.

“Jadi kami mendorong teman dan keluarga untuk bertanya apakah mereka membutuhkan bantuan,” pungkasnya.