Penelitian Menunjukkan Anak Kecil Bisa Alami Krisis Kesehatan Mental

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 16 April 2022 | 15:30 WIB
Pandemi COVID-19 meningkatkan risiko gangguan kecemasan dan depresi pada sebagian orang. Ini termasuk anak kecil dan remaja (Beth Macdonald)

Nationalgeographic.co.id - Pandemi COVID-19 meningkatkan krisis kesehatan mental pada sebagian orang.

Ahli Bedah Umum Vivek Murthy di Amerika Serikat memperingatkan bahwa anak kecil bisa mengalami krisis kesehatan mental yang diperburuk oleh pandemi.

Ahli kesehatan di Amerika Serikat menyarankan agar melakukan skrining gangguan kecemasan bagi anak berusia 8 tahun ke atas. Menurut para ahli ini, skrining ini dapat dilakukan meski anak-anak tidak menunjukkan gejala gangguan kecemasan.

U.S. Preventive Services Task Force merilis rancangan rekomendasi untuk kecemasan, depresi, dan risiko bunuh diri pada anak-anak. Sebelumnya, panduan ini menyebutkan batasan usia untuk skrining depresi adalah 12 tahun ke atas.  

“Sangat penting untuk mendapatkan perawatan sebelum gangguan itu memengaruhi kehidupan sehari-hari,” Martha Kubik, seorang profesor di School of Nursing di George Mason University. Ia menyarankan agar pusat kesehatan memiliki survei dan kuesioner untuk menyaring kecemasan.

"Alat skrining ini efektif dalam menghilangkan kecemasan pada anak-anak. Bahkan sebelum mereka menunjukkan tanda dan gejala yang jelas," katanya.

Pusat pengendalian dan pencegahan penyakit Amerika Serikat melaporkan bahwa 7,1 persen, atau 4,4 juta anak-anak, berusia 3 hingga 17 tahun telah didiagnosis gangguan kecemasan. Dan sekitar 3,2 persen didiagnosis depresi.

Namun, banyak anak tidak terdiagnosis dan gejala kondisi ini tampaknya meningkat selama pandemi COVID-19. Di Amerika Serikat, selama pandemi, 25 persen anak di bawah 18 tahun mengalami gejala depresi yang meningkat secara klinis. Sedangkan sekitar 21 persen mengalami gejala kecemasan yang meningkat. Ini merupakan hasil penelitian meta-analisis yang diterbitkan tahun lalu di JAMA Pediatrics.

Gugus tugas mengakui dalam draf bahwa penyaringan hanyalah langkah pertama. Anak-anak akan membutuhkan evaluasi lebih lanjut jika mereka memiliki skrining positif. Jika didiagnosis dengan kecemasan atau depresi, anak, orang tua, dan profesional kesehatan perlu bekerja sama untuk menentukan perawatan yang tepat.

“Pemantauan terus-menerus juga dibutuhkan untuk memastikan pengobatan atau perawatannya efektif,” ungkap Margaret Osborne dilansir dari laman Smithsonian Magazine.

Julie Cerel, psikolog di Universitas Kentucky, memperingatkan bahwa hanya karena seorang remaja memiliki skrining negatif bukan berarti mereka tidak berisiko di masa depan.

"Sebagian orang mengesampingkan kemungkinan masalah di masa depan," ungkapnya. “Kamu telah disaring negatif, jadi kami tidak perlu khawatir tentang itu."

Dia mengatakan gejala gangguan kecemasan dan depresi dapat berubah dengan cepat. Ini harus diwaspadai oleh orang dewasa. Jadi, amati perubahan ekstrem dalam suasana hati atau perilaku pada anak-anak.

 Baca Juga: Selama Pandemi, Depresi dan Kecemasan Meningkat Pada Ibu Hamil

 Baca Juga: Berpelukan, 'Magic Touch' Pereda Stres yang Tabu di Indonesia

 Baca Juga: Tak Hanya Orang Dewasa, Anak-anak Juga Alami Depresi Akibat Karantina Selama Pandemi

Menurut Lori Pbert, seorang seorang psikolog klinis di University of Massachusetts, penelitian lebih lanjut dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan bukti lebih banyak mengenai pentingnya skrining gangguan kecemasan, depresi, dan bunuh diri pada anak dan remaja.

Sementara itu, profesional kesehatan harus menggunakan penilaian klinis mereka berdasarkan keadaan pasien. Setelah itu, mereka dapat memutuskan apakah akan melakukan skrining atau tidak.

Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia. Pandemi COVID-19 menyebabkan banyak perubahan bagi orang dewasa dan anak-anak. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko gangguan kecemasan dan depresi bagi setiap orang, tidak terkecuali anak kecil.

Jika Anda mengamati adanya gejala pada anak, seperti perubahan emosi yang tiba-tiba, tidak ada salahnya untuk melakukan skrining. Bahkan jika tidak ada gejala apa pun, pemeriksaan bisa dilakukan karena pencegahan lebih baik daripada pengobatan.