Perlindungan Ciremai Jadi Polemik Warga dengan Pemerintah Kolonial

By Galih Pranata, Senin, 18 April 2022 | 11:00 WIB
Kawah di puncak Gunung Ciremai. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Pada beberapa tahun setelah penerapan kebijakan Culturstelsel, Hindia-Belanda mulai mengalami beberapa perubahan orientasi politik.

Hal tersebut dibuktikan dengan "ditetapkannya pada tahun 1870 adalah tahun tidak diberlakukannya sistem Culturstelsel di Jawa dan mulai diberlakukannya sistem sewa tanah sebagai mana kebijakan politik etis Pemerintahan Hindia-Belanda," tulis Deni.

Deni menulis dalam tesisnya kepada Institut Pertanian Bogor dengan judul Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai yang dipublikasi pada tahun 2014.

Kebijakan politik etis adalah hasil dari debat diantara para elite Hindia-Belanda yang dipengaruhi beberapa tokoh Belanda yang menolak penerapan sistem Culturstelsel.

"Debat ini adalah kritik atas Culturstelsel setelah sistem ini memberikan dampak buruk dan penderitaan bagi penduduk lokal," imbuhnya.

Residen Cirebon adalah salah satu korban yang terdampak bencana kelaparan tatkala diterapkan Culturstelsel. Reorientasi pemerintahan juga dipengaruhi oleh beberapa tokoh Gubernur Jenderal yang memiliki minat pada administrasi hukum tata negara.

Reformasi hukum pada era setelah penerapan Culturstelsel banyak terjadi terutama hukum tanah, hukum perdagangan dan pengusahaan dan juga hukum kehutanan.

Deni menyebut bahwa "Hukum kehutanan muncul untuk pertama kalinya tahun 1865 dengan istilah Bosch Reglementt."

Potret Gunung Ciremai dari Cirebon. (KITLV)

Reorganisasi hukum kehutanan bagi Pemerintah Hindia-Belanda, dirasa penting untuk dilakukan mengingat tata kelola hutan jati dan hutan rimba sebelumnya membuat hutan menjadi tidak terkontrol dan mengancam kehilangan aset hutan dikemudian hari.

Ini ditunjukkan dari kasus rusaknya hutan jati dan hutan rimba akibat dari masa eksploitasi VOC dan penerapan sistem Culturstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch.

Hutan Gunung Ciremai yang sebagaian lanskapnya telah ditumbuhi tanaman kopi rakyat, tidak menjadi perhatian serius oleh Binnelands Bestuur dan Houtvester atau Jawatan Kehutanan Pemerintah Kolonial.

Barulah, ketika Reglement 1874 diberlakukan, Kuningan memiliki Houtvester yang bertugas sebagai rimbawan patroli untuk mengawasi hutan Gunung Ciremai dan beberapa hutan rimba lainnya di Kuningan.

Johanna Gerarda Jacoba Wiegmans (kiri) dan Jo Huusen (kanan) bersama dengan kuli angkut di tepi kawah Ciremai sekitar tahun 1929. (KITLV)

Atas berlakunya Reglement ini, hutan rimba di Gunung Ciremai pada saat itu mulai menjadi sorotan yang menimbulkan gesekan di tingkat lokal, meskipun Reglement ini sejatinya memberikan akses pada masyarakat lokal.

"Petani kopi Gunung Ciremai merasa terganggu dengan keputusan ini, meskipun era Culturstelsel sudah tidak berlaku lagi, namun jaringan perdagangan kopi tetap ada," jelas Deni.

Ia melanjutkan bahwa "petani juga tetap menjalankan pertanian kopi untuk mendapatkan hasil sewa tanah dan pengganti upah kerja, sedangkan hasil panennya dipasok kepada para pengusaha asing (Eropa dan Cina)."

Alasan dasar Binnelands Bestuur dan Houtvester mengkategorikan hutan rimba pada hutan Gunung Ciremai (termasuk didalamnya kebun kopi rakyat) adalah karena pengaturan kebijakan tentang perlindungan hutan, baik sebagai cadangan hutan maupun sebagai pemeliharaan mata air —terutama pada hutan-hutan dataran tinggi seperti Gunung Ciremai.

  

Baca Juga: Kelana Lestari: Perjalanan Dua Roda Demi Memata-matai Pesinden Rimba

Baca Juga: Siapakah Lelaki Eropa Pertama yang Mendaki Puncak Gunung Gede?

Baca Juga: Hutan Suci Dayak Ngaju: Pesan Pelestarian Alam Berbasis Kearifan

    

Karena dianggap mengganggu keberlangsungan kebijakan petugas kehutanan, pembersihan dan pengusiran petani kopi Gunung Ciremai pada era ini dipengaruhi juga tindakan reboisasi dan reforestasi hutan Gunung Ciremai.

Langkah selanjutnya, petugas kehutanan (Binnelands Bestuur dan Houtvester) mulai memilih tanah-tanah hutan Gunung Ciremai yang memang perlu direhabilitasi atau penghutanan kembali.

Karakteristik politik represi yang dilakukan Pemerintah Kolonial telah membuat sebagian petani kopi Gunung Ciremai mengerti untuk 'pasrah' meninggalkan kebun kopi mereka.

Mereka memutuskan untuk lebih fokus mengurusi tanah pertanian di desanya masing-masing dan beberapa tanaman kopi yang ditanam di tanah desa.

Sebaliknya, tindakan pengawasan dan pengamanan telah dilakukan. Hal itu bertujuan agar hutan rimba di Gunung Ciremai terbebas dari kepemilikan manusia dan tak merusak ekosistem yang ada di dalamnya.